37. GERA

4.7K 289 9
                                    

09.45 PM

Hening, tidak ada percakapan sejak sepuluh menit yang lalu. Diko memutuskan menerima ajakan Valetta untuk bertemu. Jika boleh jujur, Diko sangat merindukan Valleta. Diko tidak mau munafik dengan perasaannya sendiri. Hingga saat ini pun rasa cinta dan sayangnya pada Valleta masih ada. Akan tersimpan selama Valleta juga masih memiliki perasaan yang sama padanya.

Suasana canggung di taman yang ramai ini sungguh terasa jelas. Diko dan Valleta duduk dengan memberikan jarak satu sama lain. Bergelut dengan ego masing-masing.

Sampai akhirnya, Valleta tersenyum dan menolehkan kepalanya ke arah Diko. Gadis itu berkata, "Kamu nggak kangen sama aku, Lan?"

Diko masih diam. Membuat Valleta tersenyum masam dan kembali mengeluarkan suaranya.

"Besok aku udah pulang ke Amerika lagi. Kamu yakin nggak mau ngobrol banyak sama aku? Kamu nggak mau ngajak aku jalan-jalan besok?"

Valleta menghela napasnya panjang saat Diko masih saja diam di tempatnya. Bahkan menoleh ke arahnya pun tidak.

"Tadi aku kan dateng ke acara nikahnnya saudara. Di sana ada Gesang dan Rania. Mereka deket ya? Aku baru tau," kata Valleta dengan tawa hambarnya. "Seandainya waktu itu aku nggak pindah ke Amerika, aku nggak bakalan ketinggalan info tentang kalian di sini. Hubungan kita juga masih baik-baik aja," lanjutnya dengan senyum miris.

Diko menatap lurus ke depan. Lidahnya kelu saat ingin menanggapi semua ucapan Valleta. Entah kenapa, rasa sesak terasa di dadanya. Suara Valleta, senyum Valleta, harum wangi Valleta, setiap lekuk wajah Valleta, sukses membuat jantung Diko berdegup kencang. Seperti merasakan cinta pertama kali pada Valleta dulu.

"Derlan," panggil Valleta sembari menolehkan kembali kepalanya ke arah Diko. Memandang setiap inci wajah Diko yang tampan dari samping.

"Jangan diem terus, Lan, aku pengin denger suara kamu. Jangan kayak gini. Percuma aku dateng ke sini, nyempetin waktu buat ketemu sama kamu, tapi kamu diem aja. Apa jangan-jangan dari tadi aku ngomong, kamu sama sekali nggak dengerin?"

Valleta hanya bisa menampilkan senyum mirisnya. Apa mungkin Diko marah? Kecewa padanya? Valleta tidak pernah berharap itu terjadi.

Gadis itu kembali mengalungkan tasnya di pundak dan bangkit. Tidak ada gunanya lagi di sini. Diko tidak menganggapnya ada. Percuma ia menyempatkan waktu untuk bertemu Diko.

"Aku pulang, Lan," ucap Valleta pamit dan melangkahkan kakinya ke depan. Valleta mengusap sudut matanya yang mulai berair.

Saat Valleta hendak menuruni anak tangga, tiba-tiba tubuhnya di dekap dari belakang dengan eratnya. Dan di saat itu juga, Valleta menumpahkan tangisnya. Tangannya memegang lengan Diko yang melimgkar di lehernya.

"Aku juga kangen sama kamu. Aku sayang kamu, Valleta," ucap Diko lirih tepat di dekat telinga Valleta. Membuat hati Valleta berdesir ketika kembali mendengar suara yang telah lama ia rindukan.

Diko membalikkan tubuh Valleta dan kembali memeluknya. Kali ini, rasa rindunya terbalaskan. Bisa mendekap gadisnya yang telah lama pergi ke ujung dunia.

Valleta menangis dipelukan Diko. Gadis itu membalas pelukan Diko tak kalah erat. Bahagia rasanya, Diko masih memiliki perasaan padanya.

Valleta merenggangkan pelukannya dan mendongak, menatap kedua manik mata bersorot tajam dan meneduhkan milik Diko.

"Kamu nggak marah sama aku lagi?" tanya Valleta hati-hati.

Diko menggelengkan kepalanya. Dan tersenyum sembari mengusap lembut puncak kepala Valleta.

"Aku nggak mau munafik sama perasaan aku sendiri, aku masih cinta sama kamu. Aku nggak bisa lupain kamu," kata Diko jujur.

Valleta tersenyum dan kembali memeluk Diko. Masa bodoh dengan keadaan sekitar yang tertuju padanya dan Diko. Diko mencium puncak kepala Valleta lama.

"Besok kita jalan, kemana pun asal sama kamu, aku mau."

>>><<<

Berkeliling kota Jakarta bersama Valleta membuat Diko kembali merasakan apa itu yang namanya bahagia karena cinta. Sejak pagi tadi, Valleta ada di sampingnya. Dan tinggal beberapa jam lagi yang tersisa sebelum Valleta harus kembali ke Amerika.

"Jadi, Gesang dan Linggar belum tau kalo kamu itu sama Rania sepupuan?" tanya Valleta disela-sela memakan ice cream yang baru saja dibelikan oleh Diko.

"Iya, kamu jangan bilang-bilang ke orang lain soal ini. Mereka nggak tau mama sama Rania. Jadi kamu bisa kan jaga rahasia?"

Valleta mengangguk dan tersenyum. "Apa pun itu kalo kamu yang minta aku usahain bisa," katanya lalu terkekeh pelan dan menyodorkan sesendok ice cream ke depan mulut Diko.

"Oh iya, selama aku di Amerika nanti, kamu jangan lupa buat selalu ngabarin aku terus ya, Lan?" pinta Valleta.

"Buat apa?" tanya Diko dengan sebelah alisnya yang terangkat sempurnya.

Bibir Valleta mencebik, menggemaskan saat Diko bertanya seperti itu. Iya memang mereka tidak balikan. Tapi Valleta ingin Diko kembali memprioritaskan dirinya. Egois memang.

Diko tertawa renyah dan mengacak puncak kepala Valleta. "Aku pasti ngabarin kamu. Sesibuk apa pun aku saat ngulang materi buat ujian, aku bakal tetep rajin ngabarin kamu," ucap Diko tulus.

"Dan sesibuk aku sama kuliahku di Amerika, aku bakal tetep inget dan bales kabar kamu," timpal Valleta menangkupkan kedua tangannya diwajah Diko. "Walaupun umur kamu lebih muda dari aku, tapi cara berpikir kamu lebih dewasa daripada aku, Lan. Tetep jadi Derlando Putra Diko yang aku kenal. Aku nggak mau kayak kemarin-kemarin. Kamu cuek, seakan-akan aku udah nggak ada kesempatan buat balik ke kamu lagi," lanjutnya dengan senyum getirnya.

Diko memegang punggung tangan Valleta dan berkata, "Valle, emang buat sekarang aku nggak bisa balikin hubungan kita kayak dulu lagi. Tapi kamu percaya kan aku masih sayang sama kamu?"

Valleta mengangguk.

"Kita masih sama-sama punya mimpi yang harus dicapai. Aku juga lagi fokus buat jadi anak kebanggaan papa sama mama. Aku mau banggain mereka. Kayak Gesang dan Linggar yang punya tekad sama, banggain orang tua kami masing-masing," ujar Diko.

"Aku ngerti, Derlan. Dan aku juga tau, kamu mau kuliah di Singapore kan? Kalo seandainya ini pertemuan kita yang terakhir kamu mau apa dari aku?"

Diko menautkan kedua alisnya.

"Apa?" ulang Valleta.

Diko menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Aku nggak mau minta apa-apa dari kamu. Senyum kamu yang sekarang ini udah cukup buat aku."

>>><<<

"Sang, RAP sama yang lain mau ke sini," ucap Rania berbisik pada Gesang yang sedang bermain catur bersama Ayahnya.

"Ya terus?"

Rania mendengus pelan dan kembali berbisik, "Kita kan backstreet? Nanti kalo mereka semua tau kita deket lagi gimana? Terus Tisya sama Zeya itu juga ikut ke sini nanti. Ngertiin gue dikit dong, Sang, gue nggak mau ribut lagi sama Tisya."

Gesang menolehkan kepalanya ke arah Rania yang sudah memelaskan wajahnya. Gesang menghela napasnya panjang.

"Ya udah gue balik aja kalo gitu," ucap Gesang. "Yah, saya pamit dulu. Takut yang lain tau saya deket lagi sama Rania. Ayah nggak mau Rania kenapa-kenapa, kan?" tanyanya.

Dani menganggukkan kepalanya. "Ayah mengerti. Kamu hati-hati di jalan, salam buat orang tua kamu."

Gesang mengangguk dan mencium punggung tangan Dani, kemudian bangkit.

"Pamitin ke Bunda, Ran, gue balik dulu," ucap Gesang. Rania menganggukkan kepalanya dan mengantar Gesang hingga ke depan rumahnya.

"Kita sahabatan aja kudu backstreet, apalagi mau pacaran," celetuk Gesang dengan kekehan mirisnya.

Rania tersenyum simpul dan membenarkan letak beberapa helai rambutnya yang menutupi wajah.

"Hati-hati ya?"

Gesang mengangguk sekali dan memakai helm fullface-nya. Kemudian melajukan motornya keluar dari halaman rumah Rania.

GERA [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang