7

10.4K 399 16
                                    


"Kamu baik-baik aja, kan Man. Enggak lagi sakit, kan?" Meni tiba-tiba datang lalu duduk di pada bangku yang sama denganku.

"Seperti yang kamu lihat, Men. Aku baik-baik aja. Enggak ada masalah."
Jawabku santai. Malas mengingat rentetan pristiwa yang menimpaku belakangan ini.

"Tugas dari Pak Mufid sudah kamu selesaikan?" Tanya Meni serius.
Mendengar pertanyaan Meni, segera aku berbalik menatapnya dengan tatapan sedikit terkejut.

Mata Meni menyipit membuat kaca mata bulatnya terlihat semakin membesar dan dengan santainya aku menjawab.

"Sudah"
Satu tepukan mengenai pundakku.
Jelas Meni sangat sebel melihat tingkahku yang selalu saja membuatnya kaget.

"Aku tuh, trauma lihat wajah Pak Mufid kalau lagi ngamuk di kelas kita.
Matanya melotot mengurangi kadar ketampanannya. Giginya bergemelatuk mengurangi manis senyumnya. Dan .... "

"Aduh, kamu apa-apaan sih. Kayanya, kamu nyasar deh. Seharusnya, kamu itu di fakultas sastra indonesia. Bukan malah nyasar di Fakultas sastra inggris, Men. Doyan banget sih, ngepantun."
Gerutuku lalu kembali melanjutkan acara baca-membaca yang sempat tertunda.

"Tuh, Bang tampan udah datang." Meni menutup setengah wajahnya menggunakan buku tulis saat pria dengan kulit sawo matang itu mulai duduk tepat di hadapan kami.

Namanya, Wustho.
Sebenarnya, dia juga punya kakak di fakultas kedokteran. Namanya, Aqobah. Mungkin, kalau Wustho punya adik, namanya Ula.

Bagiku, itu unik. Tak jarang aku tersenyum sendiri saat ingatanku kembali pada nama dua pria itu.
Sepertinya, mereka keluarga yang bahagia.

Kuakui, dia memang tampan.
Hampir mengalahkan ketampanan pria yang telah memberiku dua madu sekaligus. Tapi, sudahlah.. Dia itu artis kampus. Lagian, aku juga udah nikah sekarang. Enggak mungkin juga dia jatuh hati sama aku, walaupun statusku singgel sekalipun.

Seperti sekarang ini, cewe-cewe mulai berkerumun di sampingnya. Sekedar foto-foto atau minta traktiran. Atau mungkin mengajaknya jalan-jalan.

Huftttt......

Pria dengan kemeja putih dengan blazer coklat kini berdiri tegap di muka papan tulis. Sejenak matanya menatap tajam ke arahku dan berhasil membuat jantungku berdetak ketakutan.

Kesalahan apalagi gerangan yang aku lakukan?!

Setelah itu, tatapannya kembali normal.  Ia menanyakan tugas yang dia berikan tempo hari. Setelah semuanya terkumpul, kembali kami semua sibuk dengan ocehan Dosen kesayangan Meni. Pak Mufid si pemilik mata yang mengerikan.

Setelah Pak Mufid usai memberi materi. Tak lupa dirinya kembali memberi tugas. Katanya, agar kami semua tidak menghabiskan waktu hanya sekedar bermain gadget saja.

Mungkin, alasannya masuk akal.
Tapi, tetap saja aku tidak sependapat. Pasalnya, saat aku pulang ke rumah, tanganku hampir tidak pernah bersentuhan dengan smartphone kesayanganku.

Tanganku yang dulunya lembut, kini sudah mulai kasar akibat mencuci pakaian Isyraf. Syukur jika tidak ketahuan jika pakaiannya terkadang aku loundry karena tugas yang menumpuk dan aku benar-benar tak memiliki kesempatan untuk mengucek pakaian kerjanya.

Aku berharap, karena dirinya sudah menikah dengan dua wanita sekaligus, pekerjaan rumah akan terbagi juga. Apalagi, rumah yang aku tempati sekarang, sudah jauh lebih besar dari yang aku tempati dahulu.

Aku berharap, dua wanita cantik itu, mau berbagi pekerjaan. Bukan hanya berbagi suami.

Three Wives (18+) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang