Rumah dengan cat biru terlihat ramai dengan beberapa mobil yang terparkir. Naswa mengangkat sebelah alis menerka acara apa yang kiranya sedang terjadi. Baru selangkah masuk, ia telah dikejutkan dengan kehadiran Rehan.
Tidak tinggal diam, sebuah seringai iblis muncul di wajah itu. Wajah yang sampai kapan pun tidak ingin Naswa lihat lagi. Meskipun ia sudah memaafkan semua, tetapi lelaki itu memang tidak tahu diri.
"Selamat sore, Calon Istri!"
"Cih!" Naswa berdecih saat Rehan mulai mendekat.
"Loh, Naswa sudah pulang, toh?" Ibunya menimpali membuat suasa tegang tercairkan.
"Iya, Bu. Ini ada apa? Kenapa ada orang ramai ke sini?"
"Duduk dulu di ruang tengah bersama Bapak!"
Tanpa menatap Rehan, Naswa melangkah ke ruang tengah. Di sana dua keluarga tengah berkumpul. Tidak salah lagi, di sana sudah duduk mertua almarhum kakaknya.
"Naswa duduk di sini, Nak!"
Suasana ramai yang sempat tercipta beralih menjadi keheningan. Rehan tampak mengubah ekspresi yang membuat Naswa semakin jijik. Ah, andai saja tidak ada orang tua di sini, mungkin wanita itu sudah membuat lebam wajah di hadapannya.
"Maksud kedatangan saya dan Rio ke sini adalah untuk melamar Naswa sebagai istri saya."
"Aku tidak mau!" Dengan cepat kalimat itu meluncur.
Dua keluarga saling mengerutkan dahi. Tidak paham dengan jalan pikiran Naswa yang mau menyia-nyiakan Rehan. Secara fisik lelaki itu memiliki apa yang perempuan mau, tetapi secara hati wanita mana pun tidak akan suka dengan sifatnya. Terlalu ambisius hingga menghalalkan segala cara.
"Nduk, pikirkan dulu baik-baik!" Bapak Naswa berusaha berbisik.
"Aku tidak mau, Pak!"
"Bukan apa-apa, Nas. Aku menikahimu karena aku ingin Rio memiliki ibu yang terjamin. Setelah Ratna tiada, ia kesepian. Aku pikir—"
"Tidak perlu kamu uraikan panjang lebar tentang alasanmu melamarku!"
Naswa berujar tenang. "Aku tetap tidak mau. Tanpa menikah pun aku bisa mengasuh Rio!"
Sekuat tenaga Naswa menyembunyikan luka yang telah menganga. Rehan menghela napas dan tidak lama kemudian berpamitan bersama keluarganya. Meninggalkan suasana tanya yang masih mengungkung.
***
"Kenapa tidak menerima lamaran, Rehan, Nas?"
Naswa menoleh ke arah sumber suara. Ibunya mendekat dengan wajah berbalut sendu. Wanita paruh baya itu masih sedikit berduka karena kehilangan anak sulungnya.
"Naswa belum ingin menikah, Bu!" Ia menjawab singkat dan padat.
"Di umurmu yang ke-25 tahun, kenapa belum juga siap menikah. Hampir semua teman-temanmu sudah menikah. Bahkan mereka juga sudah mempunyai anak—"
"Menikah itu harus siap lahir batin, Bu. Bukan siapa cepat dia dapat, tetapi menunggu yang tepat dan itu tidak akan datang terlambat."
Naswa bangkit dari kasurnya. Banyak yang tidak pernah ia ceritakan pada ibunya. Termasuk tentang kejadian malam nahas itu, hanya ia, Rehan, dan Tuhan yang tahu.
"Baik ibu menyerah. Kamu berhak dengan semua. Ini hidupmu."
Wanita paruh baya itu pergi dan menutup pintu. Naswa berdiri dan menghela napas. Ibunya tidak marah, tetapi kecewa. Apa iya dia harus jujur tentang luka lama tak terjamah yang menyakitkan hati sampai kini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Gadis Lagi (Completed) [TERBIT]
SpiritualApa yang bisa dibanggakan untuk calon imammu jika mahkota yang harusnya terjaga telah tercuri? Hal itulah yang dirasakan Naswa. Setelah kejadian tujuh tahun lalu, luka semakin menganga. Wanita itu tidak lagi ingin merasakan cinta. Bahkan ada rasa tr...