Part 15

10.6K 519 40
                                    

“Jadi perlu ada pinggitan atau tidak?”

“Tidak perlu.”

Naswa dan Aji bertkata dengan kompak. Ruangan yang tadinya serius, kini dipenuhi tawa. Pasangan pengantin baru itu pun salah tingkah.
Hari ini kedua orang tua Naswa dan Aji berkumpul untuk membicarakan masalah resepsi. Meskipun orang tua Naswa baru pulang tadi pagi, tetapi merka tetap bersemangat. Apalagi setelah melihat senyum putrinya terbit, rasa lelah setelah menempuh perjalanan jauh hilang sudah.

“Kompak sekali. Pengantin baru memang seperti itu, ya!” ledek Mama Aji yang tersenyum.

Naswa hanya bisa menunduk menyembunyikan wajahnya. Lain halnya Aji yang menggaruk tengkuk, salah tingkah. Kemudian, tawa terbahak kembali terdengar.

“Lagian Aji mikirnya begini loh, Ma, Pa. Pinggitan itu biasanya harus seminggu sebelum akad. Lah, inikan tinggal beberapa hari.”

Papa Aji tersenyum menyeringai. “Bilang saja kamu ndak kuat kalau harus jauh dengan Naswa. Begitu saja, lho, Ji! Jangan gengsi.”

Aji mendesah pasrah seraya mengangkat tangan. “Terserah, deh. Aji ngalah, kalian pasti tahu yang terbaik.”

“Haha! Sudah, iya tidak ada acara pinggitan, nanti malam kamu masih bisa tidur dengan Naswa, Le!” Mama Aji ikut menimpali.

Kembali ruangan tersebut riuh dengan tawa. “Sudah, ya! Sekarang lebih baik kita membahas acara resepsi lagi.”

Tanpa terkesan menggurui, Ayah Naswa mengatakan kalimat tadi. Semua orang kini kembai berbincang santai. Sesekali terdengar godaan yang masih tertuju untuk Aji dan Naswa.

Sekitar pukul sebelas siang, orang tua Aji berpamitan dengan wajah bahagia. Tanpa gurat kebencian, Mama Aji menyalami menantunya. Wanita paruh baya tersebut berbisik di telinga Naswa.

“Jadi menantu yang kuat, Nas. Mama percaya kamu bisa membahagiakan Aji.”

Kalimat yang terdegar lirih tetapi penuh penekanan membuat Naswa tersenyum. Angin segar telah ia hirup. Perilaku Mama Aji telah menunjukkan lampu hijau diterima dirinya sebagai menantu. Sesungging senyum tidak luput dari bibir Naswa. Ia bahagia sekaligus terharu dengan kado terindah dari Tuhan yang tidak henti datang.

***

“Malam terakhir.” Aji bergumam seraya menatap Naswa yang tengah menyisir rambut.

Indera pendengaran Naswa mampu menangkap keluhan dari bibir Aji. Wanita itu berbalik sekaligus menatap suaminya yang menampakkan wajha muram. Keputusan final rapat dua keluarga tadi adalah tidak akan ada pinggitan, tetapi sehari sebelum akad Aji harus kembali ke rumahnya.

“Kenapa hanya satu hari, kan?!” tanya Naswa dengan senyuman.

“Ya hanya satu hari, 24 jam, 1.440 menit, dan 86. 400 detik. Bagiku itu menyebalkan. Bahkan saat di kantor aku juga ingin melihat wajahmu.”

Satu kalimat terakhir terdengar lirih, tetapi masih mampu Naswa dengar. Wanita itu beranjak mendekati Aji. Masih dengan surai yang tergerai.

“Tadi termasuk godaan atau apa?” tanya Naswa sembari mengangkat sebelah alisnya.

“Bukan godaan, Nas. Bisa dikatakan kenyataan bahwa aku tanpamu adalah butiran debu.”

Naswa mencubit hidung Aji gemas. Wanita itu merasa bahagia dan kesal secara bersamaan. Kelakuan suaminya sungguh berbahaya untuk kesehatan, karena setiap pujian tadi terlontar, maka jantung Naswa akan bertalu abnormal.

“Kamu tanpaku itu something, tetapi kamu tanpa Allah itu nothing. Satu hari bukan waktu yang lama,” ujar Naswa santai.

“Memangnya kamu enggak ada rasa rindu untukku?”

Bukan Gadis Lagi (Completed) [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang