Pagi mulai menyapa hari. Arunika mulai menebar kehangatannya. Dua insan manusia yang tadi malam sempat canggung itu kini telah membuka mata. Mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing.
"Nak Aji, ayo ke teras, Nak! Ayah ingin bicara!"
Aji yang tadinya terduduk di ruang tamu itu pun beranjak. Mengekori mertuanya ke teras rumah. Udara segar membuatnya sedikit terkesima.
"Di sini masih banyak pepohonan. Jadi masih asri dan belum banyak terkontaminasi oleh polusi."
Aji mengangguk dan membenarkan perkataan mertuanya. Tidak lama Naswa muncul dengan secangkir kopi di nampan. Wanita itu menunduk, mungkin masih malu dengan kejadian tadi malam.
"Loh, kenapa kopinya cuma satu, Nas? Di samping Ayah ada Aji sekarang."
"Em, jadi Naswa harus buat lagi?" Naswa menatap Aji.
"Enggak usah, Nas. Aku enggak suka kopi."
"Terus sukanya apa? Biar aku buatin."
"Aku sukanya kamu," ujar Aji sembari mengerling.
Naswa menyipitkan mata dan segera berlalu. Dapat Aji lihat semu merah yang ada di pipi wanita itu. Meskipun sedikit ditutupi dengan sikap judas, istrinya itu tetap cantik.
"Weleh, sudah berani menggoda Naswa, ya?!"
Aji tersenyum. Entah sejak kapan dan mulai kapan muncul keinginan menggoda Naswa. Padahal dari dulu, ia terkenal dengan sikap kaku jika sedang bersama wanita.
"Ayah titip Naswa,"-lelaki paruh baya itu menepuk pundak Aji-"dia anak gadis Ayah satu-satunya. Setelah kepergian Ratna, kami fokus dengan Naswa. Namun, ternyata tujuh tahun Naswa menyembunyikan lukanya sendiri."
Aji khidmat mendengarkan lelaki paruh baya itu. Sebait kalimat tadi mampu membuatnya paham bahwa Naswa masih menyimpan lukanya sebagai korban. Apalagi luka itu ditanggung sendiri selama tujuh tahun.
"Mungkin sebagai istri Naswa tidak bisa sempurna. Ia terkadang masih manja dan Nak Aji pasti tahu apa kekurangannya. Jadi, Ayah hanya minta tolong jangan sakiti Naswa."
Aji mengangguk. "InsyaaAllah Aji akan laksanakan itu, Yah!"
"Ayah menaruh harapan agar kamu bisa menyembuhkan luka Naswa, Ji! Jangan kecewakan Ayah!"
Aji mengangguk. Sempat terbesit tanya tentang siapa yang telah merenggut kehormatan Naswa. Namun, lelaki itu memilih memendamnya sendiri. Saat ini yang ada di pikirannya adalah cara untuk membuat Naswa terbiasa dengan status baru mereka.
***
"Terus nanti bagaimana caranya kalau ke kantor?" tanya Naswa sembari duduk di samping ranjang.
"Pakai motor kamu, ya?!"
"Oke, aku nanti naik angkot-"
"Apa-apaan? Kesannya aku menelantarkan istri. Ya, kita berangkat bareng titik."
Naswa bungkam, paginya telah diriuhkan tentang masalah berangkat ke kantor. Padahal wanita itu ingin sedikit menjauh dengan Aji. Pasalnya sekarang jantungnya sering bekerja abnormal jika bersama suaminya itu.
"Tapi-"
"Enggak ada tapi-tapian, oke!"
Perkiraan Naswa memang meleset. Tadi pagi setelah berbincang dengan ayahnya, Aji meminjam motor. Ternyata lelaki itu hanya pulang untuk mengambil baju ganti.
"Kenapa juga dia ke sini lagi. Akukan belum terbiasa." Naswa bergumam dengan lirih, tetapi mampu didengar Aji.
"Nanas, coba pasangin aku dasi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Gadis Lagi (Completed) [TERBIT]
SpiritualApa yang bisa dibanggakan untuk calon imammu jika mahkota yang harusnya terjaga telah tercuri? Hal itulah yang dirasakan Naswa. Setelah kejadian tujuh tahun lalu, luka semakin menganga. Wanita itu tidak lagi ingin merasakan cinta. Bahkan ada rasa tr...