“Sudah lama?”Aji bertanya pada Naswa yang tengah berdiri gelisah di depan kantor. Wanita itu menatap suaminya dengan tatapan yang entah. Tidak bisa dideskripsikan lagi.
“Aku—“
“Ayo pulang.”
Aji berujar dingin. Suasana hatinya tergambar jelas seperti suasana hari ini. Mendung menggelatuti hati. Lelaki itu tidak mampu menjelaskan apa pun lagi. selera humornya telah jatuh pada dasar terdalam karena pesan tadi.
Selama perjalanan, Naswa berusaha memberanikan diri untuk meminta maaf pada Aji. Namun, setiap kali ia ingin membuka suara ada ragu yang menghambat semua. Pada akhirnya semua tertelan oleh keheningan yang membekukan.
Baru setengah perjalanan, motor yang mereka tumpangi mendadak berhenti. Sontak, Naswa turun dengan raut kebingungan. Apalagi hari mulai gelap dengan rintik hujan yang mulai membasahi Bumi.
“Sepertinya motormu mogok karena businya perlu diganti, Nas. Apa ada bengkel di sekitar sini?” tanya Aji mencoba melupakan masalah yang masih menetap di pikiran.
“Ada, tapi mungkin agak jauh.”
Mereka pun mendorong matic itu dalam keheningan. Setelah lima meter perjalanan dengan hujan rintik-rintik, sebagian dari baju mereka basah. Beruntung, bengkel yang tadinya akan tutup itu mau menerima.
“Aku minta maaf.” Naswa berkata lirih.
Aji menatap netra istrinya yang terlihat sedih itu. “Jadi siapa?”
Tanpa dijelaskan pun Naswa tahu apa maksud pertanyaan Aji. Wanita itu menunduk dalam sembari menarik napas panjang. Berusaha menyiapkan hati agar tetap tegar saat ia menceritakan sejarahnya pada Aji.
“Bolehkah jika nanti saja kalau di rumah. Aku akan menjelaskan semua.”
Aji mengangguk, tanpa kata jari jemarinya meraih punggung tangan Naswa. “Aku akan menunggu hingga kamu mau menceritakan semua. Aku hanya tidak rela dia menyimpan fotomu itu.”
“Maaf jika aku gagal menjaga kehormatan—“
“Kamu tidak gagal. Hanya dia saja yang terlalu biad*b.”
Dalam keremangan lampu dan rinai hujan yang semakin menderas, Aji mendekatkan wajah ke arah Naswa. Lelaki itu mencium puncak kepala istrinya. Sembari bergumam kalimat yang mampu membuat jantung Naswa berdetak degan cepat.
“You are mine.”
***
Sesampainya di rumah, kedua orang tua Naswa terlihat khawatir.Mereka menatap sepasang pengantin baru itu dengan tatapan tanya. Aji hanya bisa tersenyum dan menggandeng tangan Naswa.
“Maaf kami pulang telat. Tadi di jalan motor Naswa mogok.”
“Alhamdulillah kalau begitu. Bapak kira ada sesuatu buruk yang terjadi. Syukurlah kalian tidak apa-apa.”
“Sudah cepat mandi, Nduk! Nanti kalau masuk angin.”
Pasangan pengantin baru itu berjalan bergandengan menuju kamar. Sebuah senyum terpatri di bibir kedua orang tua Naswa. Mereka merasakan bahagia melihat putrinya mendapat jodoh yang baik.
“Kamu atau aku dulu yang mandi?” Naswa bertanya sesaat setelah memasuki kamar.
“Bareng, yuk!”
Aji kembali mengerling ke arah Naswa. Satu cubitan gemas langsung mendarat di pundak lelaki itu. Sifat tengilnya memang membuat istrinya gemas sekaligus malu.
“Eh, Nas. Aku mau sesuatu hal.”
Naswa yang tadinya membuang muka kini menatap Aji. “Sesuatu apa?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Gadis Lagi (Completed) [TERBIT]
SpiritualApa yang bisa dibanggakan untuk calon imammu jika mahkota yang harusnya terjaga telah tercuri? Hal itulah yang dirasakan Naswa. Setelah kejadian tujuh tahun lalu, luka semakin menganga. Wanita itu tidak lagi ingin merasakan cinta. Bahkan ada rasa tr...