Part 3

7.1K 707 33
                                    

Malam mulai mengungkung hari. Namun, tetap mata Aji belum bisa terpejam. Lelaki itu masih sibuk dengan pikiran yang berkecamuk.

Sekelebat bayangan tentang calon istrinya yang bernama Rea sedang berboncengan dengan lelaki lain masih melayang-layang. Aji tahu, mereka sepakat menerima perjodohan ini karena bentuk sikap patuh terhadap kedua orang tuanya. Namun, sekali lagi perlu ditegaskan, lelaki itu tidak suka dengan penghianatan sekecil apa pun.

Dalam hati ada praduga. Antara praduga positif dan negatif, semua beradu menjadi satu. Membuat kantuk enggan untuk datang mengganggu.

Sekali lagi bayangan itu mampir, Aji hanya bisa mendesah lelah. Hatinya gundah tentang sebuah teka-teki yang belum mempunyai simpul.

***

"Nas, ada seseorang yang ingin bertemu denganmu."

Sebelum mata wanita itu berhasil terpejam, suara dari ambang pintu menarik perhatian. Tanpa jawaban Naswa mmembuka pintu. Menampakkan wanita paruh baya yang kini tengah menatap wajahnya intens.

"Ada seseorang yang ingin bertemu. Ibu ingin kamu mempertimbangkan baik-baik semua keputusan yang ada. Jangan gegabah."

Seperti titah sang Ibu, Naswa telah merasa ada yang tidak beres. Baru beberapa langkah ke ruang tamu, sebuah lelaki dengan postur tubuh yang tidak kenal telah menunduk. Sedetik kemudian, ia mendongak.

Sempat terbaca ekspresi kagum dengan kecantikan yang Naswa punya. Lagi dan lagi wanita itu memilih mendiamkan sikap tadi. Ia lebih memilih beranjak duduk dan menatap pria paruh baya yang tampak tenang tidak terusik.

"Ini anakku, Mar." Bapak Naswa tersenyum semringah.

"Wah, ternyata cantik juga, ya! Tidak kalah dengan almarhum kakaknya."

Naswa tersenyum getir mengingat tentang Ratna. Mungkin jika waktu bisa diputar, ia tidak akan mengizinkan kakaknya menikah dengan Rehan. Lelaki yang memiliki sejuta cara untuk menggampai impiannya itu terlalu kotor.

"Jadi cepat ungkapkan, Dit!" Lelaki paruh baya di samping lelaki muda itu berkata.

Naswa menatap netra yang telah dilapisi oleh kaca mata itu dengan tenang. Bersiap untuk menghadapi semua keadaan yang bisa terjadi. Instingnya terlalu kuat dan telah menangkap signal bahwa akan ada lamaran lagi.

"Saya ke sini karena ingin mengajak anak bapak yang bernama Naswa Farida untuk taaruf."

Kalimat itu terucap dengan nada tegas dan kesungguhan yang luar biasa. Naswa sedikit goyah dengan lelaki yang ada di hadapannya. Apalagi melihat kesungguhan yang tercermin. Wanita mana yang sanggup menolak pahatan Tuhan yang sempurna seperti lelaki itu?

"Jawaban hanya ada di tangan Naswa. Jika Naswa menghendaki, maka Nak Adit bisa melanjutkannya."

Sorot mata semua orang tertuju pada Naswa. Wanita itu tidak menunduk. Ia tetap tegak dan berusaha tetap tegar dengan pendiriannya.

"Sebelum aku menjawab semua pertanyaanmu. Bisakah aku mengajukan sebuah pertanyaan?"

Adit mengerutkan kening, tetapi detik berikutnya anggukan kepala membuat Naswa lega. "Apa yang ingin kamu tanyakan?"

"Jika seumpama aku adalah wanita yang telah hilang mahkotanya, apa kamu masih bisa menerima?"

Pertanyaan itu seperti sebuah teka-teki yang membuat Adit termenung sejenak. Pikiran lelaki itu belum bisa menerka apa arti mahkota yang Naswa ucapkan. Pikirannya terlalu sibuk dengan wajah cantik yang kini justru menari-nari dan mengganggu konsentrasi.

"Maksudmu?" Adit bertanya seraya menatap netra Naswa.

"Apa kamu bisa menerima jika aku bukan perawan?"

Bukan Gadis Lagi (Completed) [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang