Bau obat-obatan menyeruak memasuki indra penciuman Naswa. Ruangan serba putih telah memanjakan netranya ketika pertama kali terbuka. Sosok Aji tengah duduk dengan memejamkan mata.
“Aku ada di mana?”
Aji terbangun dari alam mimpi yang tadinya sudah mulai menyapa. Pertanyaan Naswa belum ia jawab. Ia lebih memilih memperhatikan keadaan wanita itu.
“Bagaimana keadaanmu?” Aji bertanya tanpa menjawab pertanyaan Naswa.
“Aku tidak akan menjawab jika pertanyaanku juga belum kamu jawab.”
“Untuk kalangan umum orang sakit akan dibawa ke rumah sakit bukan ke restoran, Naswa!”
Jengkel, Aji menjelaskan kepada Naswa. Wanita itu mengangguk polos tanpa berniat tertawa. Mungkin pernyataan tadi tidak lucu atau hidupnya terlalu dramatis hingga tertawa saja jarang.
“Terima kasih.” Naswa berkata seraya tersenyum tulus.
“Tidak ada kata terima kasih ... tadi aku hanya kebetulan ada di taman—“
“Kebetulan ataupun tidak kamu telah menolongku. Jadi terima kasih.”
Kedua insan itu terdiam. Sibuk mencerna pikiran masing-masing yang masi menerka-nerka. Namun, di dalam pikiran Aji masih ada satu hal yang membayangi. Tentang perkara apa yang menjerat Naswa dan lelaki tidak dikenal itu hingga menjadi perseteruan seperti ini.
“Jadi, siapa lelaki itu?”
Tanpa berusaha mengulik permasalahan Naswa, Aji bertanya. Keheningan yang semula betakhta terhapus. Tergantikan dengan kebimbangan hati wanita itu.
“Ia hanya kakak iparku dulu.”
Ingin Naswa menambahkan bahwa sekarang status itu telah berubah. Dari seorang kakak ipar menjadi penjahat yang sanggup meneror tiap waktunya. Kali ini, rasa takut tidak lagi mampu ia sembunyikan dari Aji.
“Oh.”
Tanggapan singkat itu menjadi penutup pembicaraan tadi. Dalam hati Aji tahu bahwa Naswa tengah menekan rasa takutnya agar terlihat baik-baik saja. Namun, lelaki itu mampu membaca ekspresinya tanpa kata.
“Apa aku bisa pulang sekarang?”
***
“Assalamualaikum.”
Pintu yang tadinya tertutup kini terbuka. Menampilkan Ibu Naswa dengan netra sembab yang tidak bisa terelakkan lagi. tanpa banyak bicara, Naswa telah direngkuh dalam dekapannya.
“Kamu ke mana saja, tho, Nas?”
Siapa pun akan khawatir jika anak gadisnya tidak ada di kamar. Memang Naswa sudah merencanakan semua. Wanita itu pergi dari rumah melewati jendela dan tanpa pamit. Hal itu diketahui ibunya saat ingin memberikan makanan.
“Naswa dari rumah sakit, Bu.”
Pandangan Ibu Naswa beralih ke belakang. Sosok lelaki tegap dengan sedikit lebam menarik perhatian. Dalam pandangan siapa pun yang melihat Naswa dengan lelaki itu, maka semua akan mengatakan cocok.Sejenak mulai ada harapan agar putrinya bisa memiliki jodoh yang menerima apa adanya. Ibu Naswa takut jika semua masa lalu yang kelam membuat Naswa enggan untuk membangun rumah tangga. Mengingat selama ini banyak lamaran yang ditolak tanpa alasan yang jelas.
“Mari masuk, Nak!”
Bapak Naswa yang ada di ambang pintu sedikit terkejut dengan kepulangan anaknya yang membawa seorang lelaki. Banyak pertanyaan tersimpan dalam benak. Namun, saat melihat wajah Naswa yang letih, lelaki paruh baya itu lebih memilih diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Gadis Lagi (Completed) [TERBIT]
SpiritualApa yang bisa dibanggakan untuk calon imammu jika mahkota yang harusnya terjaga telah tercuri? Hal itulah yang dirasakan Naswa. Setelah kejadian tujuh tahun lalu, luka semakin menganga. Wanita itu tidak lagi ingin merasakan cinta. Bahkan ada rasa tr...