Gelap dan keheningan adalah dua hal yang tidak pernah Naswa suka. Semenjak kejadian tujuh tahun yang lalu. Luka yang tertinggal melebar menjadi mimpi buruk yang datang tiap malam.
Mungkin sesekali srnyuman bisa ada di bibir tipisnya. Namun, saat kelebat bayang itu muncul Naswa tidak sanggup melihat wajahnya sendiri di hadapan cermin. Ia terlampau malu menyadari dosa yang bertumpuk membuat luka lahir dan batin.
"Naswa."
Tanpa diminta sebuah bulir bening hampir terjatuh membasahi pipi gadis berkulit putih itu. Belum sembuh luka yang ada, tetapi dengan tega Rehan hampir mengulang kejadian masa lalu. Naswa memberanikan diri menatap Aji yang kini juga menatapnya.
"Terima kasih."
Naswa berkata dengan senyuman sederhana yang membuat Aji terpaku. Lelaki itu tidak tahu kenapa dunianya tiba-tiba berhenti hanya karena melihat wanita yang dianggap sebagai teman lama. Buru-buru ia menunduk dan mengabaikan semua.
"Jadi, apa kamu mau cerita tentang semua?"
Naswa menggeleng karena masih merasa kuat dengan keadaan. Ia telah menganggap kelamnya masa lalu sebagai sebuah aib. Aib yang bisa membuatnya terjebak dalam labirin luka.
"Aku baik-baik saja. Anggap saja tadi kamu tidak melihat semuanya."
Sedikit terpaksa Aji mengangguk. Pemandangan indah yang sempat tertangkap oleh netranya masih terbayang. Tentang rambut lurus Naswa dan wajah bersedih wanita itu mampu menggetarkan sesuatu yang ada dalam lubuh hatinya.
"Aku antarkan pulang."
Punggung tegap itu berjalan meninggalkan wanita yang kini masih terpaku. Naswa berterima kasih sekaligus merasa sedikit kagum dengan aksi heroik Aji. Tidak dapat dipungkiri sebuah rasa hangat menyelinap. Sekali lagi, ia lebih sadar diri. Mahkota yang terjaga, telah terenggut secara paksa. Lalu, apa yang perlu dibanggakan oleh dirinya?
***
Rehan mendesis tatkala air dingin membasuh rahangnya. Kejadian yang berlalu beberapa jam lalu masih terkenang. Apalagi kehadiran lelaki yang tidak dikenal yang seketika mampu menyulut emosinya.
"Arrrggghhh!"
Sebuah vas bunga telah terjatuh seiring dengan erangan lelaki itu. Di dalam kamar mandi ia mengutuk takdir. Menyumpahi kenapa bahagia tidak pernah berpihak sedikit pun padanya.
***
"Apa aku masih pantas mengenakan ini?"
Naswa bergumam di antara sepertiga malam. Mukena yang semula terpasang rapi, kini telah terlepas. Menampilkan rambut hitam lurusnya.
Beberapa menit ia terpaku. Menyusuri wajahnya yang hampir terjamah lagi. Satu tetes kristal bening dan disusul dengan tetesan lain mampu membuat wanita itu menunduk.
Tujuh tahun yang lalu...
Hujan melanda dengan deras. Jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Di rumah hanya ada Naswa, kakaknya Ratna pergi setelah adu mulut dengan kakak iparnya.
Sunyi kian merangkak, tetapi segera terpecahkan dengan ketukan pintu. Sorot lampu remang-remang tidak memberikan celah untuk Naswa menyadari suatu hal aneh saat membuka pintu. Barulah saat sebuah tangan kekar menyelusup ke pinggangnya. Ada suatu hal ganjil yang masih ia terka.
"Kak, lepas!"
Masih dengan intonasi sedang Naswa berkata. Gadis itu berusaha tenang dan mengira bahwa Rehan hanya iseng saja. Namun saat bingkai lelaki itu membungkam, sebuah kristal bening menetes pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Gadis Lagi (Completed) [TERBIT]
SpiritualApa yang bisa dibanggakan untuk calon imammu jika mahkota yang harusnya terjaga telah tercuri? Hal itulah yang dirasakan Naswa. Setelah kejadian tujuh tahun lalu, luka semakin menganga. Wanita itu tidak lagi ingin merasakan cinta. Bahkan ada rasa tr...