Suffix

2.1K 348 30
                                    

Bukan punggung lebar milik si sulung, atau suara dengkur khas Johnny, atau wangi mentol dari sabun mandi kakaknya itu yang Dinda temui begitu membuka mata. Sosok yang lebih kecil, dengan kaos gombrong warna hitam dan celana training berwarna senada, surai cokelat terang dan wangi minyak telon - oh, Median pasti masuk angin.

Pemuda itu menggumam dalam tidurnya, campuran Singlish dengan akhiran –lah­, Bahasa Indonesia dan sedikit Bahasa Jawa. Median memang aneh, mengigau dalam banyak bahasa. Mana kadang Median menjelaskan salah satu bab mata kuliahnya dalam ketiga bahasa itu.

Dinda menepuk perut Median pelan. Ada suara janggal dari sana, berarti pemuda itu sedang kembung. Berusaha tidak membangunkan sang adik sepupu, Dinda berhasil keluar kamar Johnny, bermaksud ke dapur.

"Heh, ngapain lo?" tanya si bungsu saat melihat Andaru nampak fokus melihat sesuatu yang bergerak-gerak. Nggak tahu apa. Karena Dinda lagi nggak pakai kacamata alias ngeblur semua yang dilihat. "Lagi menaikkan skill, teh" sahut pemuda itu.

Tangan kanannya dengan cepat menangkap sesuatu, "naikin skill nangkep nyamuk pake satu tangan" lanjut pemuda itu. Dinda menepuk dahi nya pelan dan membiarkan Andaru dengan kegiatannya dan kembali melanjutkan jalan ke dapur.

"Morning, baby"

Johnny sibuk mengaduk kopi nya saat Dinda datang. Pemuda itu sudah rapi dengan baju kantornya, "Morning. Aku kira abang libur hari ini" sahut si bungsu. "Maunya, tapi dapet panggilan. Ya udah daripada duit melayang"

"Bang Jun mana? Pergi juga?"

"Nggak. Masih bobo dia di kamar. Nanti kalo Jun bangun, tolong bilangin stay di rumah aja. Tukang servis AC mau ke rumah, semua dibersihin sekalian kamar tamu sama yang di ruang tengah. Uangnya di laci kamar Ayah, ya"

Dinda mengangguk, "Okay. Eh iya, Bang Jeff juga masih di kamar Bang Jun?" tanyanya. Si sulung menggeleng, "Udah cabut dia, 10 menit yang lalu. I thought he already said to you" balasnya.

"Nggak, nggak bilang apa-apa. Tapi kemarin bilang Mama nya mau ke rumah Surabaya bentar ambil barang. Mungkin jemput kali ya"

"Mungkin aja. Telfon aja anaknya. Abang berangkat ya" Johnny memeluk singkat adiknya dan mendaratkan kecupan di puncak kepala Dinda. "Hati-hati, abang. Jangan ngebut. Jangan lupa makan"

"Iya iya. Kamu ngapain ke dapur pagi-pagi?Abang udah beliin sarapan loh"

"Itu, Mas Ian kembung. Mau buatin teh anget"

"Aaah, okay. Berangkat yaa"

Beres dengan teh, Dinda kembali ke kamar diikuti dengan Andaru yang mengekor di belakangnya. Sedangkan saat membuka pintu, Median sudah terduduk dengan wajah mengantuk dan rambut yang berantakan. Masih setengah sadar.

"Minum nih" si bungsu menyodorkan teh hangat, "Eh? For what?" tanya Median parau. "Mas Ian bau minyak telon, perutnya kembung, pasti masuk angin" jelas Dinda.

Median tersenyum kikuk lalu mengucap terima kasih sebelum akhirnya menenggak setengah isi gelas. Tak lama, pemuda itu bersendawa keras hingga membuat Andaru melemparkan bantal yang ia peluk ke kakaknya, "Heh bule kampung! Selow dong!" hardiknya. Hampir saja terjadi perang bantal kalau Dinda tidak memisahkan dua kakak beradik itu.

"Teteh mau kemana?" tanya Median saat melihat Dinda hendak beranjak, "Mau mandi lah" jawab gadis itu. "No, no. Stay here." tolak Median dengan wajah serius.

Si bungsu hanya menurut dan kembali duduk di tempatnya. Sedangkan Andaru yang sedari tadi mojok di sofa akhirnya ikut nimbrung di kasur Johnny.

"So, who's Barry?"

Bang Jeff 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang