Princess Syndrome | D u a p u l u h s a t u

69 4 0
                                    

[Dua puluh satu]


Sebelumnya ia sudah berjanji akan baik-baik saja, setelah Papa pergi dengan merelakan apa yang harus direlakan, meninggalkan kediaman Mama tanpa membuat wanita paruh baya itu khawatir. Ia menepati janjinya, begitupun Gavin yang ia harap akan menepati janjinya juga. Sebab hari ini, setelah matahari menyingsing, setelah dirinya membersihkan diri dan mantap berbenah dengan hati-hati, ia sama sekali tak menemukan keberadaan Gavin di kamar. Di taman belakang rumah yang biasa digunakan lelaki itu bermain bersama Arsen juga tidak ada, apalagi di ruang kerja keluarga Alejandra, sama sekali tidak menemukannya.

Batinnya teroyak ribuan kata tanya, bukankah semalam lelaki itu ada di sebelahnya, bersenandung lembut tepat ditelinga dengan tangan yang mengusap sisi wajahnya, kemana setelah itu?

“Yakin udah baik-baik aja? Nggak mau disini dulu sayang?” tanya Mama kembali memastikan.

Chiara yang duduk di ruang keluarga hanya bersama Mama menggeleng, “Ara baik-baik saja Ma, selalu baik-baik saja, terima kasih udah mengkhawatirkan Ara selama ini.” jawabnya menegaskan dan meyakinkan Mama kalau dirinya sudah baik-baik saja. Walau tak sepenuhnya benar.

“Kalau ini keputusan kamu, Mama nggak masalah. Jangan melakukan hal sembrono ya nak, Mama ada disini. Dibelakang kamu. Temui Mama kalau memang kamu lagi nggak baik-baik aja.”

Tangannya reflek menggenggam tangan Mama cukup erat, netranya menatap wanita paruh baya itu dengan kasih sayang. Beruntung sekali ia mendapatkan Mama mertua sebaik ini, tidak cerewet apalagi mengekang aktivitias sang menantu untuk setiap harinya. Itu bukan Mama Astri sekali.

“Pasti Ma.”

“Oh iya Gavin kemana? Dari pagi aku nggak lihat dia sama sekali, tadi nggak ikut makan juga, kemana Ma?” sambungnya bertanya.

Mama menggeleng tidak tahu, mengangkat bahu acuh. “Semalem katanya ada pertemuan klien di kantor agensi, tapi sampai pagi Mama nggak menemukan tanda-tanda kalau dia pulang. Mungkin nginep kantor.”

“Oh gitu ya Ma, tapi kok dia nggak ngasih tahu aku ya?”

“Mungkin suamimu nggak mau ganggu istirahat kamu Ra! Gavin nggak mau bangunin istrinya yang cantik ini, tahu sendiri keadaanmu masih rapuh seperti itu.” Sesekali Mama menggoda Chiara dengan mencubit pipi menantunya itu kesal.

“Ish Mama bisa aja deh.”

“Mama ke dapur dulu ya, mau masak buat siang nanti. Eh pulangnya di tunda besok gimana?”

“Enggak Ma, aku pengennya hari ini.”

“Yaudah deh Mama nggak bisa maksa.” Astri melepaskan genggaman tangan Chiara, mengusap kepala perempuan itu dengan sayang. Setelah beranjak langkahnya menuju dapur, mulai mengoperasikan berbagai alat dapur dan tentunya membuat resep baru untuk sang suami.

Chiara masih di ruang keluarga, menggerutu kesal menunggu Gavin yang tak kunjung pulang. Beberapa panggilan dari benda persegi itu sudah di layangkan namun tetap saja tidak diangkat, Chiara kan kesal, padahal janji lelaki itu kalau pagi ini, pagi sekali, akan membawanya pulang ke rumah.

Ia sama sekali tidak kepikiran kalau Gavin akan berlari ke Sarah, karena bagaimanapun juga Papa baru saja pergi dan apa lelaki itu tega sekali kembali menjalin hubungan dengan Sarah? Chiara memang berpikir kalau Gavin ketiduran di kantor, tidak ada yang membangunkan, karena tahu sendiri saat lelaki itu ketika tidur seperti apa. Susah sekali dibangunkan.

Selang beberapa detik, ia mendengar sebuah mobil berhenti digarasi. Batinnya menebak kalau itu adalah Gavin, dengan cemas dan penuh harap, ketika pintu terbuka dan benar saja yang datang adalah Gavin. Tapi tungggu, penampilan lelaki itu jauh dari kata rapih, berantakan sekali. Kemejanya sudah compang camping tak karuan, rambutnya acak-acakan dan kedua matanya sayu, benarkah kalau hanya di kantor Gavin seberantakan itu?

Princess Syndrome [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang