Princess Syndrome | T u j u h b e l a s

73 5 0
                                    

[Tujuh belas]

You know that I can’t
Kau tahu bahwa aku tak bisa

Show you me
Memperlihatkanmu (siapa) diriku

Give you me
Memberimu diriku

chorahan moseub boyeojul sun eopseo
Aku tak bisa memperlihatkanmu

tto gamyeoneul sseugo neol mannareo ga
bagian terlantar dari diriku

But I still want you
Tapi aku masih menginginkanmu

[The Truth Untold - BTS]

Seratus persen yakin, seratus persen dia melihat dan seratus persen dia mengusap permukaan itu berkali-kali, tepatnya bekas jahitan luka di pergelangan tangan Chiara yang disembunyikan beberapa tahun ini. Dia bodoh, bekas luka sejelas ini tak pernah dilihatnya.

Bahkan sampai saat ini, semalaman hingga pagi menghabiskan malam panas bersama Chiara, dia masih betah menggenggam punggung tangan Chiara serta mengusap bekas luka perrmpuan itu. Sembari tangan kanannya dijadikan bantalan Chiara, posisinya benar-benar dekat, posisi Chiara memunggunginya.

Gavin benar-benar tidak tidur, memilih terjaga dan memperhatikan lelap Chiara semalaman. Menyaksikan bagaimana perempuan itu mengigau ketakutan, meminta pertolongan dan menggumamkan kalimat yang tak jelas, bahkan rungu Gavin gagal menangkap maksudnya. Dia baru tahu, malam ini, kalau Chiara keadaannya separah itu. Jahatkah kalau selama ini ia terus menyudutkan Chiara? Tak menganggap bagaimana kerasnya perjuangan perempuan itu mengembalikan nama Sea Entertainment akibat ulahnya, juga lebih jahat lagi membuat perempuan itu menyaksikan secara terang-terangan perselingkuhannya dengan Sarah.

Chiara mencari posisi ternyaman, karena sinar matahari yang mengganggu, dia refleks membalikkan badan kearah Gavin dan sempurna saling berhadapan. "U-udah siang?" Ia terkejut, selang beberapa detik basa basi bertanya.

Lelaki, yang sekarang tengah mengeratkan pelukan di pinggang ramping Chiara, itu mengabaikan pertanyaan yang baru saja dilontarkan istrinya. "Separah itu ya?" Suaranya serak, namun Chiara masih jelas mendengarnya.

"Apa?"

"Ini."

Untuk beberapa saar tertegun. Ia masih menjadikan tangan kanan Gavin sebagai bantalan, serta tangan kiri lelaki itu mengambil alih tangannya. Tertangkap basah sudah tidak bisa mengelak, susah payah ia meneguk salivanya. Astaga ia semalam berkeringat dan melupakan juga kalau tidak memakai concealer sepagian.

"Biasa aja, kenapa emangnya?"

"Lo emang sinting, sangat sinting. Apa yang lagi yang lo sembunyiin dari gue?" Padahal masih pagi, tapi Chiara sukses membuat emosinya naik kepermukaan.

"Telanjang semaleman ternyata nggak buat mata lo jeli." Cibirnya dengan kekehan miris.

"Mana lagi Ra?"

"Yakin mau tahu?"

"Ra, please."

Sudah mendengar Gavin memohon, Chiara membuka tiga kancing kemeja Gavin yang digunakannya semalam sebelum tidur. Menyingkap bagian atas dan memperlihatkan goresan di lengan serta pundak, hanya dua yang entah kenapa saat itu rasanya sakit sekali.

Mempertontonkan beberapa menit, setelah netranya tak sengaja menangkap kegelisahan Gavin, lelaki itu menatapnya sendu. "Alesan lo ngelakuin ini apa?" Lalu bertanya dengan suara rendah. Baiklah Chiara rasa sudah dan ia kembali menutupi pundak dengan membenarkan beberapa kancing kemeja yang dikenakan.

"Yakin mau tahu?"

Gavin berdecak, "serius, gue lagi nggak mood buat bercanda." Katanya kesal.

"Yang di pergelangan waktu Mama Papa pisah, Yang di lengan waktu Papa sakit-sakitan dan yang di pundak-

Waktu Lo bilang mau pengen pisah untuk pertama kalinya."

"Ra itu udah lama, astaga." Cicitnya tercekat, suaranya hampir tidak terdengar. "Kenapa lo ngelakuin itu? Bicara baik-baik kan bisa, bicara sama gue, sama Mama atau sama keluarga gue. Lo nggak harus kayak gini Chiara." Pekiknya benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Chiara waktu itu.

"Udah terlanjurkan, yaudah lah."

Yaudah lah? Enteng sekali bicaranya, Gavin saja memikirkannya hampir frustasi dan perempuan didepannya ini justru dengan gampang bicara seperti itu.

"Sumpah gue nggak tahu lagi mau ngomong apa, lo- hidup lo kenapa sih Ra? Sumpah gue pusing mikirinnya."

"Udah jangan dipikirin, kasian otak lo karena lo ajak mikir sekeras itu, kasian kepala lo juga yang pusing karena nggak paham-paham."

"Kenapa lo nggak ngasih tahu dari awal?"

"Emang lo perduli?"

"Ya setidaknya gue tahu, Ra."

"Tahu doang kalau nggak perduli percuma lah."

"Tapi setidaknya gue bakal tanggung jawab,"

"Dengan apa? Cinta sama gue? Jangan dong, nanti kasian Sarah." Jawabnya dengan kekehan lucu.

Sumpah demi apapun Gavin ingin menghancurkan perempuan ini karena berani-beraninya menyembunyikan segalanya. Segalanya yang membuat pikiran Gavin kacau, membuat hidup tak tenang dan diikuti ketakutan. Kalau dari awal Chiara mengatakan, semuanya pasti tidak akan serumit ini.

Chiara sedikit membenarkan posisi tidurnya, mengambil bantal untuk dijadikan penumpu dibelakang kepala, kasihan tangan Gavin yang pasti kesemutan karena semalaman dia jadikan bantal. "Biar tangannya nggak kesemutan." Gumamnya membenarkan tangan Gavin.

"Sekarang yang semalem, pas tidur kenapa lo bisa teriak-teriak ketakutan, minta tolong terus nangis. Itu kenapa?"

"Harus dikasih tahu juga yang ini?"

"Chiara, please."

"Gudang kosong, belakang apartemen gue dulu. Gue nolongin orang yang hampur diperkosa, gue suruh dia pergi, dan gue yang hampir jadi korbannya. Kemeja yang saat itu gue pake udah robek, tinggal tank top putih terus mereka mulai-" mendadak gugup kembali melanda, andai saja saat ini Gavin ta menggenggam tangannya erat pasti akan diserang ketakutan, lagi.

"Udah nggak usah diterusin. Masih inget orangnya?"

Kepalanya menggeleng kecil. "Semakin gue inget-inget, semakin gue ketakutan. Lupain aja!" Bibirnya sedikit melengkung menerbitkan senyum kecil.

"Lo kesakitan ya selama ini? Lo butuh teman yang siap dengerin cerita lo ya selama ini?"

"Bukan, gue cuma butuh lo. Tapi realita selalu ingetin kalau lo nggak pernah butuh gue, jadi gue tahu diri."

Cukup. Gavin coba memahami semua ini, kerumitan perempuan itu yang perlahan diketahui walau tak sepenuhnya, tekatnya kali ini adalah memperbaiki. Dilihat dari sudut pandang Chiara, perempuan itu yang paling kesakitan. Perempuan itu yang paling malang nasibnya dan perempuan itu yang paling protagonis perannya, itu menurut Gavin.

Selama ini dia yang jahat. Selama ini dia yang memang lebih memilih berkhianat bersama Sarah, mencari kesenangan yang memang hanya itu-itu saja. Dia mengabaikan Chiara, membiarkan Chiara hanpir setiap malam melewati mimpi buruk itu sendiri. Juga membiarkan Chiara melukai anggota tubuh perempuan itu tanpa belas kasih.

"Mulai sekarang jangan pernah melakukan hal apapun diluar kendali lo. Kalau lo lagi sinting, telfon gue, gue temenin sinting sekalian. Jangan nyakitin diri sendiri Ra, gue bakal marah banget kalau itu terjadi."

"Kenapa? Bukannya seneng ya kalau gue sekarat, kan biar bisa nikah sama Sarah."

"Saat kita lagi beruda nggak ada namanya Sarah maupun Lukas, adanya cuma Chiara dan Gavin. Ngerti?"

"Em, nggak janji."

Princess Syndrome [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang