Princess Syndrome | D u a p u l u h d u a

79 6 0
                                    

[Dua puluh dua]

Disaat seperti ini, saru-satunya orang yang bisa diharapkan adalah Meri. Jangan tanyakan teman sosialitanya yang sama sekali tidak tahu diri itu, mereka justru mengabaikan ribuan panggilan telepon Chiara. Saat Chiara sedang membutuhkan mereka, tidak ada satupun dari mereka yang mau meluangkan waktu. Dengan alasan sibuk dan bla bla bla, berbeda dengan Meri, yang kalau sekali saja Chiara menelpon pasti perempuan itu langsung mengajaknya bertemu.

Dan kali ini perempuan itu mengajaknya ke suatu tempat yang katanya bisa membuat pikiran kacaunya sedikit lebih tenang.

Pantai.

Hamparan luas dengan pemandangan pantai yang ada didepannya sejenak membuat pikiran tenang. Debur ombak ombak yang ikut andil, perasaan kacaunya sedikit tersamarkan, sembari memikirkan matang-matang hal yang akan diutarakan setelah ini.

Ia terlalu takut, semuanya, kehilangan beberapa orang yang menyayanginya dengan tulus, takut membuat mereka kecewa dengan langkah yang ia ambil setelahnya. Entahlah, semua terasa begitu rumit, sejak pertama kali bermain peran dalam hubungannya bersama Gavin, hidupnya sudah mulai tidak tenang.

Disampingnya, Meri, sedari tadi tak berhenti mengoceh hal yang tidak penting. Membicarakan teman sejurnalis yang curang karena mencuri idenya, mencuri berita yang didapat, membicarakan teman reporter yang kalau mengambil gambar selalu salah dan tidak pas, pokoknya tidak penting, deh. Sampai pungkasan kalimat perempuan itu membuatnya semakin merenung.

Money can makes us happy, but also can makes us more miserable. More we have money, more we will lonely.

Itu katanya. Itu kata Meri. Chiara tahu artinya, Chiara tahu apa maksud kalimat Meri kali ini. Bukan setahun dua tahun ia berteman dengan Meri, dan perempuan disampingnya ini memang tahu semua tentang kehidupan kelam yang dialami selama ini.

"Kalau gue, jelas nggak mau bertahan dimana keadaan udah nggak berpihak sama gue. Gue tahu ini susah banget, tapi kalau gue ada di posisi lo sekarang, bisa nggak bisa gue harus lepas dari dia. Bertahan sama dia terlalu lama sama aja bikin hidup gue makin gila, tolol, dan lemah," Chiara mendengarkan seksama kalimat yang keluar dari bibir Meri. Tatapannya lurus menyaksikan ombak kecil di bibir pantai, dengan dirinya yang duduk sembarangan di pasir, kali ini tidak memperdulikan pakaian mahal yang nantinya kotor. Tidak masalah, ia bisa membuangnya atau membeli baru yang modelnya seperti ini.

"You know how great the effects of broken heart Ra?" Tanyanya menatap Chiara sebentar lantas kembali menatap lurus kedepan seperti Chiara.

Chiara diam saja, tak menjawabi kalimat Meri sepatah katapun.

"Lo bakal lebih sinting dari biasanya. Nangis-nangis, mohon-mohon sama Gavin suapaya dia nggak ninggalin lo, nekat melakukan apa aja yang nggak baik dari diri lo, bahkan yang lebih sintingnya lo bisa bunuh diri cuma karena Gavin ninggalin lo." Meri buat sedramatis mungkin pelafalannya. Supaya temannya ini sadar dan secepatnya meninggalkan Gavin, perempuan sebaik Chiara tidak pantas untuk lelaki brengsek seperti Gavin.

Jodoh adalah cerminan diri. Yang baik akan mendapatkan yang baik, dan yang brengsek akan mendapatkan yang brengsek juga. Chiara baik akan tetapi Gavin brengsek, itu menurutnya tidak pas sama sekali. Kalau Gavin Brengsek lantas Sarah pun, masuk kedalam List manusia, brengsek yang ada didalam hidupnya, menurutnya itu baru yang dinamakan jodoh. Pas, cocok, klop, serasi. Sama-sama tidak tahu diri, sama-sama sialan dan sama-sama tega membuat Chiara menikmati laranya.

"Gue nggak berhak ngomong kayak gini, tapi kalau nggak sekarang, kapan lagi lo akhirin masa-masa sulit ini? Lo harus bahagia! Let's count, how many Times have you been happy so far? Bisa diitung jari kan Ra?"

Princess Syndrome [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang