Hujan turun sangat derasnya. Seakan-akan ingin menenggelamkan bumi saja. Suara gemeluruh di semua penjuru seperti bumi akan runtuh. Suara gemeluruh itu dengan derasnya mengiringi perjalanan kami saat mengantar Windi. Halilintar menyambar-nyambar sekenanya. Suara "Cetar! Cetarrr...!" seperti di atas kepala saja. Basah kuyup seluruh tubuh tak kuhiraukan. Si biru tetap kutarik kencang. Berharap sampai tujuan. Windi juga tidak protes. Dia kelihatannya menikmati perjalanan. Mungkin dia menginginkan cepat sampai rumahnya.
Rangkulan tangan Windi ke perutku semakin kuat. Aku semakin grogi dan deg-degan. Perasaan antara risih dan senang bercampur. Tidak hanya rangkulan tangan Windi yang dikencangkan, tetapi tubuhnya kadang dibenamkan di punggungku. Dia mendekap erat tubuhku. Degup jantungku semakin kencang dan tak menentu. Tubuhku menggigil bukan karena air hujan tetapi karena gemetar tubuhku dirangkul Windi.
"Mas, berhenti!" teriak Windi tiba-tiba.
"Ada apa?"
"Kita sudah sampai Mas!"
"Oh iya, Mbak!"
Betul juga kita sudah sampai Penthol Blaru. Dengan cepat kuinjak rem si biru. Aku hentikan Si biru di depan ruko sebelah utara Penthol Blaru. Benar juga, Kami sudah sampai Pati. Cepat benar perjalanan kami. Hingga tak terasa sudah sampai Penthol Blaru ini. Mungkin karena kita serius menikmati perjalanan.
"Alhamdulillah, hujan telah berangsur berhenti!" batinku.
"Turun sini, Mbak!" Tanya Ipung.
"Iya, Mas!"
"Turun, Pung!"
"Ini udah turun, Kang!"
Kemudian Windi turun dari motor. Sementara aku masih duduk di punggung si biru. Lewat lampu kota aku pahamkan wajah Windi. Kuamati gadis mabuk ini dari ujung rambut hingga kaki. Windi memang seorang gadis yang sangat cantik. Bening. Dan montok. Hidungnya mancung. Kulitnya putih. Wajahnya bulat telur. Dadanya besar. Pinggulnya padat berisi. Jari-jari tangannya lentik-lentik. Huh...! Sungguh mempesona. Umurnya kira-kira 18 tahun. Bajunyanya yang basah mencetak jelas bentuk tubuhnya. Luar biasa kecantikannya. Mengapa gadis secantik ini harus bergaul dengan orang-orang yang tidak benar?
Windi melangkah pergi. Dia meninggalkan aku dan Ipung begitu saja tanpa ada ucapan kata apalagi ucakan kata terima kasih. Aku maklum. Mungkin pikiran Windi masih bingung gara-gara mabuk tadi. Aku pun tidak sakit hati karena aku menolong demi kemanusian bukan karena imbalan. Aku menolong dia ikhlas lahir batin.
"Kang, dia berlalu begitu saja!" protes Ipung.
"Biarkan saja Pung, Kita menolong secara ikhlas!"
"Ya, ikhlas Kang! Tetapi, paling tidak mengucapkan terima kasih kepada kita yang sudah payah-payah mengantarkan dia! Kalau tidak kata-kata apa kek! Semisal 'Monggo Mas' atau apalah gitu!"
"Mungkin nyawanya belum 100% kembali Pung! sehingga dia lupa ngucapin terima kasih."
"Kalau kesadarannya belum pulih nyatanya dia tau rumahnya! Minta diturunin sini!"
"Orang itu berbeda-beda, Pung! Ada orang yang kita tolong selalu ingat kita. Ada orang yang kita tolong yang tidak ingat. Ada lagi orang yang kita tolong malah merugikan kita dengan merampas hak kita atau merusak milik kita, misalnya.
"Heh, heh, Kang! Windi balik kesini!"
"Iya, Pung!"
Rupanya Windi kembali. Kelihatannya dia akan mengucap sesuatu. Namun, kata-kata itu dia urungkan. Windi menatapku. Namun, aneh aku tidak membalas tatapan itu. Aku melempar pandanganku kepada gafura yang disangga 2 tiang berdiri gagah melingkari jalan. Windi menatapku agak lama. Seperti tatapan orang yang akan berpisah lama saja. Aku tidak tau apa maksudnya..

KAMU SEDANG MEMBACA
GADIS MALAM SATU SURO
Misterio / SuspensoHantu mukanya hancur sebelah yang selalu mendatangi Arkiyan hampir tiap malam itu nama dan perawakannya persis dengan nama seorang gadis mabuk yang pernah diantar Arkiyan pulang. Windi, nama gadis itu. Gadis cantik berperawakan montok ditemui Arkiy...