Dilema Besar

14K 233 1
                                    

Kini seorang wanita duduk bersimpuh tepat di samping. Menangis sedu sedan, air mata mengalir begitu deras, menggenggam tangan, dan bersandar di bahuku. Terkadang buliran bening jatuh mengenai lengan, lalu kubiarkan mengering begitu saja.

"Tolong aku, Lian. Pernikahan kami gagal, kami sama-sama menolak perjodohan ini, dan memutuskan bercerai. Aku akan dijodohkan lagi kalau belum menikah juga. Tolong aku." Suara memohon berhasil membuat hati ini terdesak.

Mefi adalah teman, bahkan sudah kuanggap sahabat. Kami berada di perusahaan yang sama. Bahkan pertemanan kami sudah sejak berada di bangku perkuliahan.

Mefi berasal dari keluarga yang berada, anak satu-satunya. Namun, semua tak menjamin kebahagiaan, kala hidupnya terus dikendalikan orang tua. Dengan dalih demi kehidupan yang layak untuk putrinya, ia harus menelan rasa pahit, saat merasa tak bisa memiliki dirinya sendiri.

"Apa yang bisa aku lakukan? Gimana caranya bantu kamu, Fi?" Aku mulai bersuara setelah bungkam beberapa saat. Bukan karena tak mau membantu, hanya tidak mengerti apa maksud tangis yang ia tampilkan.

"Aku nggak mau dijodohin untuk yang kedua kalinya. Aku berhak menentukan hidupku sendiri," jelasnya.

Gadis berambut panjang itu kerap kali datang di kediamanku. Tidak ada siapa pun, membuatnya leluasa meluapkan segalanya, curahan hati selalu mengalir deras demi memberi ketenangan batinnya.

Aku seorang diri, sejak kebergian Ibu satu tahun silam. Sedikit menyesal karena tidak sanggup memenuhi keinginan beliau untuk segera menghadiahkannya seorang menantu. Bukan karena tidak ada calon, tapi tabunganku kian habis untuk biaya pengobatan Ibu semasa sakit.

"Aku nggak tahu lagi harus minta tolong sama siapa, Lian. Datanglah ke rumahku, katakan kamu akan menikahiku secepatnya." Permintaan Mefi berhasil menghancurkan imajinasi.

Sejak awal aku sudah cukup mengerti. Namun, kali ini dia berusaha menegaskan. Mefi adalah perantau. Tanpa saudara, membuatnya tak punya pilihan lain, selain datang padaku untuk hal apa pun. Tidak menyangka, untuk perkara yang seserius ini, dia juga memutuskan untuk melibatkanku.

Sebenarnya, aku hanya rela meminjamkan bahu ini, kapan pun ia ingin bersandar. Menumpuk segala keluh kesah, mengusap air matanya, bahkan menerima pelukan untuk sekedar menenangkan. Namun, kasihku padanya hanya sebatas untuk seorang adik. Hatiku bukan miliknya, tapi milik wanita di seberang sana, Kirana.

"Kita berteman, kan, Fi?" tanyaku. Membuat tangannya perlahan merenggang melepaskan genggaman tanganku. Sandaran itu perlahan berjarak, kini netra kami bertemu. Terlihat jelas manik kekecewaan di matanya.

"Jadi, kamu menolak?" Mefi bertanya balik, berhasil membuatku semakin sulit.

Meneguk saliva, berusaha mengatur ucapan demi menjaga hatinya. Aku tahu, apa pun yang diucapkan, tak akan mengubah sakit yang harus dirasakan, jika itu sebuah penolakan.

"Diammu aku anggap jawaban, Lian. Aku akan pergi dari sini, bukan untuk pulang, tapi pergi untuk menemukan hidupku, untuk memiliki diriku sendiri." Ucapannya mengancam, dia tahu aku bukanlah orang yang tega membiarkan siapa saja memutuskan hal di luar logika. Apalagi, untuk orang yang aku sayangi.

Mulai beranjak berdiri, kugenggam erat tangannya dengan cepat. Tahu betul, Mefi adalah gadis yang sering kali labil. Ia mampu melakukan apa saja saat hatinya kalut.

"Duduklah, kita bicara baik-baik," bujukku. Dia langsung menuruti, meski memalingkan wajah, demi menunjukkan rasa kecewanya.

"Ada wanita yang mencintaiku di seberang sana. Aku harus berbicara padanya, setelah itu baru bisa memutuskan," jelasku. Merasa tak punya pilihan lain, selain menuruti permintaan Mefi.

Mendadak NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang