Sia-sia

2.9K 144 8
                                    

Sudah satu minggu, sejak kepergian mertua, dan Mefi menolak ajakanku. Dia memilih jauh dariku, demi menenangkan hati, begitulah ucapannya saat itu.

Tidak bisa berbuat banyak. Jika sikap sedikit memaksaku akan memberi keuntungan pada keluarganya, maka tak akan aku lakukan. Mereka hanya fokus mencari kesalahanku, untuk terus membombastis Mefi yang polos.

Kesendirian ini kumanfaatkan untuk berpikir. Bagaimana caranya, supaya bisa membawa pergi Mefi dari sana, tanpa ada paksaan. Entah apa rencana mereka. Padahal sebelum ini, tidak ada yang peduli dengannya. Tentu saja, rasa curiga begitu mudah singgah.

Sudah menjadi hal yang sangat lumrah untukku, setiap bulan harus berbelanja kebutuhan bulanan, apa pun. Padahal, aku berharap tugas ini akan tergantikan, saat sudah menikah. Namun, nyatanya tidak seperti harapan. Di awal pernikahan ini, terasa begitu rumit. Entah soal apa pun, dari hati, sampai materi, sering kali membuatku pening.

"Saya mau dagingnya tiga kilo, Mbak." Terdengar suara seseorang, saat aku sedang memilih telur di supermarket.

Terdengar tidak asing, tetapi ragu untuk menoleh demi menepis rasa penasaran. Kembali melanjutkan memilih telur, tanpa memikirkan hal aneh.

"Ikannya minta dua kilo saja, Mbak," ucapnya lagi.

Kali ini, tak bisa kutahan lagi. Rasa penasaran kian meletup, saat diri ini yakin akan suara yang sangat kukenal itu.

Menoleh, terlihat wanita berbalut hijab biru muda dari belakang. Postur tubuh yang tidak asing bagiku, membuat rasa yakin kian menguat, meski penampilannya terlihat sudah berubah. Rambut panjang lurus dan legam, tak lagi terlihat.

"Kirana ...," panggilku. Meski pelan, tetapi tanpa ragu.

Seketika wanita itu menoleh. Dalam satu detik, sorot mata kami bertemu. Beberapa waktu saling bergeming, menikmati sebuah pertemuan yang tak pernah terduga.

Aku sangat mengenali mata itu, meski wajahnya tertutup oleh sebuah masker. Entahlah, aku merasa kurang cocok, jika berada di tengah pusat perbelanjaan seperti sekarang, masih harus memakai masker. Mungkin saja, dia sedang terserang flu, atau karena alasan lain.

"Lian ...," sapanya, setelah beberapa saat bungkam.

"Selamat, ya. Kamu sudah berubah menjadi lebih baik lagi, Kiran." Aku tidak tahu, hanya bimbang harus mengatakan apa lagi. Mungkin sebuah pujian lebih dari itu, tak pantas lagi aku ucapkan.

"Terima kasih," ucapnya menunduk.

Tunggu, ada sesuatu yang baru aku lihat. Matanya ... tidak seperti biasa. Sudut mata itu, terlihat sedikit lebam. Dia terus menunduk, terkesan sedang menutupi sesuatu dariku.

"Kiran, kamu nggak apa-apa?" tanyaku curiga, dengan terus berusaha memastikan.

Dia menggeleng, lalu berkata, "Enggak apa, Lian. Kalau begitu, aku lanjutin belanja dulu, ya."

Dia menghindar. Ya ... aku yakin itu. Dia menyembunyikan sesuatu dariku.

"Kiran, tunggu! Kamu enggak sedang flu, kan? Kenapa memakai masker?" selidikku.

"Enggak apa-apa. Untuk kesehatan saja," ucapnya, kemudian berjalan kembali menyusuri beberapa jenis makanan.

Aku mengikutinya dari belakang. Berharap mendapatkan alasan yang jelas, atas sikapnya saat ini. Aku tidak akan menggodanya, atau berniat memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Namun, hanya memastikan dia seharusnya baik-baik saja, bahkan dia harus lebih baik setelah mendapatkan pendamping.

"Jangan ikuti aku!" ketus Kirana, setelah menyadari aku sedang mengekorinya.

"Kalau begitu, buka maskermu dulu, Kiran. Setelah itu, aku pergi."

Mendadak NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang