Menatap punggung yang kian menjauh. Desau angin yang menerbangkan rambut panjangnya, terasa melambai memanggil. Debaran ini sulit dibendung, kala sanubari membara ingin memeluknya. Kesedihan yang berusaha ia tutupi, justru semakin menyayat hati.
Kirana pergi, mungkin tak akan kembali. Ia memutuskan membuka hati, dan menulis harapan di kertas putih. Sedangkan aku, hanya mampu berdoa, untuk segala kebaikan untuknya.
Terduduk lemas. Tak menyangka akan sesulit ini. Dia tahu, aku tidaklah bahagia di atas tangisnya. Dia mengerti, bahwa kami sama-sama menangis, meski berada di tempat yang berbeda.
Ya, Kirana selalu mengerti segala isi hati, meski tak pernah terucap. Justru aku yang tidak bisa memahami, bagaimana ia mampu membendung segalanya dan mampu melewati. Menutup dengan senyum, meski manik matanya tak bisa membohongi.
Menatap angkasa, yang tidak lama lagi harus ditinggalkan oleh senja. Tidak ada bedanya, dengan aku juga Kirana. Semua terasa menyedihkan. Seakan angin meniupkan namanya, pun dengan wajah tulusnya. Semua hanya di angan, seakan berputar.
***
Rumah gelap, seoalah tidak ada kehidupan di dalamnya. Membuka pintu yang tak terkunci, membuatku semakin khawatir. Sesaat terbesit prasangka buruk, di mana Mefi?
"Fi ... Mefi ...," panggilku, tak ada sahutan.
Terus berjalan seraya mencari sakelar untuk menghidupkan lampu satu-persatu. Masuk kamar, kembali mencari sumber penerangan.
Terlihat Mefi berbaring di atas ranjang, tidur sangat pulas. Sedangkan di kamar lain, keadaan masih sama sebelum aku pergi. Semua berantakan seperti sediakala. Tanpa sentuhan, dibiarkan begitu saja. Mefi tak berniat membereskan semua yang sudah diperbuat.
"Fi, sudah gelap. Bangun ...," ucapku.
Mefi mengerjapkan mata. Terbesit rasa kesal padanya. Mengapa dia sangat kekanakan? Lalu siapa yang harus membereskan semua itu? Hanya aku?
"Kamu baru pulang?" tanyanya, seraya berusaha bangun.
"Iya. Kenapa kamu belum mandi?" tanyaku, menahan rasa kesal. Masih berusaha memahami.
"Aku tertidur pulas."
"Kamar itu masih berantakan?"
Mefi terlihat berpikir, lalu berkata, "Apa kita nggak butuh asisten?"
"Tinggalkan masa lalu. Kita mulai hidup baru bersama. Jangan mengandalkan siapa pun, harus mandiri, Fi," nasihatku.
Diam. Mungkin dia tidak tahu, bagaimana cara membereskan benda yang berserakan. Hanya mampu berbuat tanpa sanggup bertanggung jawab.
Aku memintanya bangun, lalu mengajaknya membereskan kamar sebelah. Tanpa mengajari, tidak yakin dia akan bisa dengan sendirinya.
Wajahnya sedikit kesal. Mungkin sedikit dipaksakan. Dia harus belajar bertanggung jawab pada setiap perbuatan. Paling tidak, sedikit mandiri. Bukan serupa anak kecil yang mudah melempar barang saat marah. Terlalu aneh untuk gadis seusianya, apalagi sudah menikah.
Kami mulai membereskan satu persatu. Tanpa suara, tanpa bicara.
"Aku capek, Lian," ucapnya seraya duduk di tepi ranjang.
"Sedikit lagi, Fi. Setelah ini, kita mandi dan makan di luar. Mau, nggak?" bujukku.
Wajahnya kembali berbinar. Anak ini memang harus selalu mendapat bujukkan. Apa pun itu.
Hingga selesai, kemudian kami mandi bergantian. Mefi terlihat berdandan, sedikit berlebihan. Mungkin dia pikir, akan makan malam romantis di restoran mewah, dilengkapi beberapa lilin kecil pelengkap nuansa romantis.