Bersukur aku bisa melewati amarah yang hampir tak terbendung. Mereka begitu mudah menghina seseorang, tanpa berkaca. Merekalah yang seharusnya malu dan terhina, karena menjadi benalu bagi orang lain.
Mefi terlihat tidur pulas di pangkuan. Sesekali mengusap pucuk kepala, menatap wajah lugunya. Cantik.
Para manusia bertopeng lebih memilih pulang. Mungkin berdoa untuk kematian Pak Handoyo, begitulah kekejian mereka.
Sedangkan aku, tidak sanggup memejamkan mata. Kepala ini terus terbebani oleh semua perkataan Papa mertua. Aku menganggapnya amanat, juga soal keselamatan Mefi.
Para predator lapar akan melakukan apa saja demi mendapatkan mangsanya. Bisa saja aku angkat tangan, dan menyerahkan secara cuma-cuma. Namun, lagi-lagi diri ini dihantui oleh cerita Pak Handoyo, saat perinya berjuang demi sebuah kelayakan hidup.
Kembali menatap wajah yang terlelap. Sedikit mengingat, gadis manja itu pernah menangis di bahuku, saat merasakan patah hati untuk pertama kalinya. Menangisi cinta pertama. Dia tak pernah main-main dalam memberikan hati.
Mefi sangat lucu. Tanpa kusadari, sikap manjanya berhasil menciptakan sebuah warna di hidupku.
Dini hari, mata ini belum mau terpejam. Kepala mulai berdenyut, pening. Sedikit mengkhawatirkan keadaan Pak Handoyo. Aku masih ingin mendengarkan wejangan yang menenangkan jiwa. Bagaimana dengan lantang ia memberikan cara, untuk menaklukan dunia tanpa ketakutan, tanpa kekhawatiran. Dunia berpihak pada orang-orang yang berjiwa bijak.
"Lian ...." Sebuah panggilan membuatku menunduk. Mefi terbangun.
"Iya ... kenapa bangun?" tanyaku.
"Kamu capek?" tanya Mefi balik, seraya bangun dari pangkuanku.
"Enggak, kamu tidur lagi saja, Fi."
"Sudah dini hari, kamu belum juga tidur. Kamu bisa sakit, Lian." Sentuhan halus pada pipi ini, sedikit membuatku merasakan kasih sayangnya.
Aku tersenyum, dan berkata, "Aku mau beli sesuatu, kamu tunggu di sini ya?"
"Aku ikut," pintanya, seraya mengaitkan tangan pada lenganku.
"Kamu di sini saja. Aku mau jalan kaki ke mini market samping rumah sakit."
Mefi menggeleng. "Aku ikut."
Baiklah, siapa yang bisa menolak permintaan gadis itu. Apa pun yang ia inginkan, harus dituruti.
Kami berjalan keluar dari kamar inap Pak Handoyo. Sepanjang jalan, tangan Mefi tak lepas dari lenganku. Terkadang berjalan sempoyongan, mungkin masih mengantuk. Sebenarnya, apa yang membuat dia begitu memaksakan diri?
Sampai. Aku membeli satu bungkus rokok dan beberapa keperluan lain saat berada di rumah sakit. Sedangkan Mefi, tak memikirkan apa pun yang dibutuhkan. Dia malah anteng memilih ice cream.
Kami memutuskan untuk duduk di taman rumah sakit saat selesai berbelanja. Bersantai sejenak demi menyingkirkan kemelut di benak.
Aku menyulut ujung rokok dan mulai menyesapnya. Sedangkan Mefi sudah asik menyantap kesukaanya itu. Sedikit menahan tawa, saat melihat bibir yang dipenuhi es krim. Berantakan.
"Kamu itu udah gede, masa makan aja belepotan gitu," ledekku.
Tanpa menjawab, seketika Mefi membersihkan mulutnya dengan tisu. "Kamu mau?" tawar Mefi seraya menyodorkannya padaku. Lalu, kumakan sedikit ujungnya.
Gadis itu kembali menikmati, tanpa memikirkan mulutnya kembali terlihat kotor. Seketika menyeka bibir itu dengan pelan. Kini, netranya menatapku dalam.