"Buka pintunya, Fi ...." Masih berusaha membujuknya, meski belum mendapatkan hasil.
Mefi sudah melewati jam makan siangnya, hanya mengurung diri di kamar lain. Aku tahu, tanpa henti ia menangis di dalam sana. Diri ini sungguh keterlaluan, tidak termaafkan.
Ternyata bukan perkara mudah, yang sebelumnya kuanggap sebagai solusi. Mengorbankan hati satu wanita, demi menyelamatkan wanita lain. Nyatanya, aku justru menyakiti keduanya secara bersamaan. Lelaki macam apa!
"Fi, aku minta maaf. Keluarlah, kamu belum makan," bujukku lagi. Namun, nihil.
Kepala ini terus berdenyut, memikirkan hal yang belum pasti sanggup kuhadapi. Aku menyakiti Mefi tanpa kesengajaan. Semua begitu saja terucap. Hanya perbuatan hati, yang belum mampu pergi dari satu nama.
Memutuskan untuk duduk di ruang tengah, saat merasakan lelah berusaha meluluhkan istriku. Sering kali menegaskan, bahwa Mefi sangatlah mudah untuk dibujuk. Namun, mungkin kali ini hatinya benar-benar teriris. Tak pernah sebelumnya ia begini.
Mengeluarkan posel dari saku, seraya berpikir bagaimana caranya supaya Mefi mau keluar. Minimal dia mau makan, maka rasa bersalahku tak begitu menggunung.
[Maafin aku, Fi. Tolong, buka pintunya]
Beberapa saat kemudian, hanya mendapat tanda read, tanpa ada balasan. Dia benar-benar tidak memaafkanku. Kepala semakin pening, kala tak juga mendapatkan cara bagaimana memperoleh sebuah maaf.
Tidak menyerah, aku menelponnya. Berharap ia mau menerima. Minimal, aku bisa mendengar suaranya, hingga rasa khawatir bisa sedikit kutepis.
"Fi, maafin aku, ya? Tolong, buka pintunya ...," ucapku saat telepon tersambung.
Tak mendapat jawaban, sambungan terputus secara sepihak. Namun, suara kunci terdengar dari balik pintu. Tanpa menunggu, aku beranjak mendekati.
Cukup terkejut, saat membuka pintu. Kamar yang harusnya tertata dengan rapi, kini semua berserakan di lantai. Bantal, selimut, seprai, dan entah apa lagi. Sedangkan Mefi, berbaring menutupi wajahnya dengan satu bantal.
Hanya menghela napas panjang. Beginilah cara gadis menja melampiaskan amarah. Aku melangkah mendekatinya, perkara semua yang berserakan bisa dipikirkan nanti.
"Fi, makan, yuk," ajakku, duduk di sampingnya berusaha membuka pembicaraan.
Tak mendapat jawaban, terdengar isakan tangis. Gadis itu memang sangat cengeng, bahkan untuk hal yang sangat sepele. Apalagi, untuk hal semacam tadi. Wajar saja reaksinya sampai begini.
"Aku minta maaf, ya?" pintaku lagi, seraya membelai rambutnya yang halus.
"Kenapa aku nggak pernah dapetin yang aku mau?" Suaranya terdengar sengau. Wajahnya masih ditutupi sebuah bantal.
Perlahan aku membuka benda empuk itu. Kemudian menyentuh kepalanya. Rasa bersalah kian menyeruak, kala melihat sepasang pelupuk mata sembab yang menyedihkan.
"Sejak kecil, aku nggak pernah memiliki diri sendiri. Semua diatur sama Mama dan Papa. Bahkan kuliah pun, semua diatur oleh asisten yang dikirim untuk melakukan tugasnya. Aku terlihat bebas, tapi rasanya seperti dipenjara."
Tanpa bisa menjawab, justru seperti mampu terbawa merasakan kesedihannya. Bukan hal baru bagiku, karena Mefi sering kali mencurahkan isi hatinya perihal yang sama. Merasa terkekang, hidup di luar kota pun masih terus dalam pengawasan.
"Dan sekarang, aku memiliki raga seseorang, tapi tidak dengan hatinya," sambungnya, diikuti air mata yang menetes dari sudut mata.
Menggenggam erat tangan gadis berambut panjang itu, berusaha menenangkannya. Merasa diri ini tidak berkutik, semua memang salahku.