Seperti bidadari, dengan balutan gaun putih memanjang, terkesan sangat suci. Entah bagaimana mereka menata, untuk tampilan rambut semewah itu. Aplikasi make up yang menawan melengkapi kesempurnaan. Kirana ... bukan, bukan Kirana. Dalam sedetik aku menyadari, Mefilah yang ada di hadapan.
Sedetik kemudian, rasa itu datang kembali. Merasa patah, sebab beberapa saat lagi akan meminang seseorang, yang tidak kucintai. Semoga pengorbanan ini bukan hanya menyakiti beberapa pihak, tetapi menghasilkan sebuah kemuliaan. Entah untuk diri sendiri, aku tak pernah tahu.
Menangkap sorot mata penuh kesedihan. Sepertinya Mefi telah menumpahkan air mata, sebelum melangkah menemuiku. Meski tak tahu penyebab pastinya, tapi cukup membuatku kembali di hantui wajah sendu Kirana. Bagaimana suasana hati wanita yang kucintai di sana? Tidak bisa dibayangkan, jika aku saja tak pernah berhasil memadamkan rasa perih ini.
Kami berjalan menuju masjid yang sudah dipersiapkan. Melangkah beriringan meski tak saling melihat. Entah, aku seperti mendampingi wanita asing. Bukan teman, atau sahabat yang selama ini menemaniku penuh dengan cengkerama.
Degup jantung kian mengencang, saat berhadapan dengan seorang penghulu, beserta beberapa saksi yang duduk di sisi. Tatapan para keluarga Mefi belum juga berubah, entah masalah apa yang sudah tercipta denganku. Sulit dimengerti.
Mendengarkan secara seksama, saat penghulu mulai melontarkan kalimat demi kalimat akad untuk menikahkan. Bersiap menjawab, justru getaran di dada semakin membara, bersamaan dengan sakit yang tidak bisa dijelaskan.
"Saya terima nikahnya, Kirana Larasati ...."
Terhenti, semua mata tertuju padaku. Seketika melihat wajah penghulu yang terkejut dan dahi mengernyit. Sedikit melirik Mefi, sudut matanya berkaca-kaca. Bodoh! Inginku maki diri ini.
"Maaf," ucapku pelan.
Penghulu kembali melantunkan kalimat ijab. Bertekat bulat, pernikahan ini harus berhasil. Cukup satu kali saja, aku salah menyebutkan nama mempelai putri.
"Saya terima nikahnya, Mefi Agustina Putri binti Bapak Handoyo, dengan mas kawin seperangkat alat sholat, dibayar tunai."
"Bagaimana para saksi? Sah?" ucap penghulu.
"Sah ...!"
"Alhamdulillah," seru semua orang.
Aku sudah resmi menjadi seorang suami. Bersamaan sengan segala kewajiban yang harus dipenuhi. Lahir atau pun batin, semua tanggung jawabku, yang tentunya sudah menjadi hak yang harus didapatkan Mefi.
Maafkan aku, Kiran ... begitulah aku memanggil namanya dengan penuh kasih sayang. Dia adalah wanita baik, hati yang lembut, dan akhlak yang bijak.
Segala doa dilantunkan. Menengadahkan kedua tangan, demi mendapat ijabah dari Sang Kuasa. Kuserahkan bagaimana menjalani takdir yang sudah digariskan. Percaya bahwa apa yang terjadi di dunia, bukan hanya sebuah kebetulan. Semua sudah diatur tanpa meleset, meski hanya sebesar debu.
Kami semua beranjak, melangkah kembali ke rumah Mefi. Telah dipersiapkan acara makan bersama keluarga besar secara sederhana.
"Tadi kamu lupa?" tanya Mefi, saat kami sedang menyantap makanan di sudut taman, hanya berdua.
"Maaf, ya?" Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Tanpa menunjukkan betapa batinku terasa tak nyaman.
"Enggak apa-apa. Aku tahu, nggak mungkin kamu melupakan Kirana dengan cepat. Aku hanya merasa terlalu egois."
"Bukan, ini hanya sebuah takdir, Fi. Oh, iya, bagaimana hubungan kamu dengan saudara-saudara yang ada di sini?" tanyaku mengalihkan, lebih tepatnya mengalihkan hati sendiri.