Ayunan langkah terasa berat, ketika jarak semakin jauh dari lelaki yang kucintai. Dia yang berhati tulus, hingga mengorbankan segalanya untukku.
Bukan hanya kali ini. Lian menikahiku saja merupakan suatu pengorbanan yang luar biasa. Sahabat yang kini menjadi suami, tentu saja sangat aku cintai.
Menghentikan langkah sebelum keluar dari tempat suram ini, kemudian menoleh demi menatap wajah tampan itu. Melengkungkan senyum sebagai ucapan terima kasih, meski rasanya tak akan pernah cukup. Lalu, dia pun melakukan hal yang sama.
Tanpa ragu kuteriak, "Aku akan kembali, Lian!" Lambaian tangan ini mulai mengayun, yang langsung dibalas olehnya.
Kembali melangkah, hingga tubuh tinggi tegap itu tak lagi terlihat. Harusnya aku yang berada di sana, bukan dia. Namun, jiwa penuh pengorbanannya tak mampu diam menyaksikan seorang wanita mengalami hal yang nelangsa.
Tatapan ini mengabur, kala mengingat begitu rumit. Entah bagaimana jadinya, jika Lian tak bersamaku. Takdir telah tergariskan. Tuhan telah mengirimnya sebagai penyelamat hidupku. Sejak aku memohon, untuk dipersuntingnya.
"Kita mau ke mana, Fi?" tanya Dani memecah lamunan. Kemudian dengan cepat menyeka air mata yang belum sempat menetes. Aku sudah berjanji pada Lian, akan menjadi Mefi yang tangguh mulai sekarang.
"Kita harus ke rumah. Kemungkinan besar mereka semua berada di rumah sakit, Dan." Aku menuruti semua saran yang Lian berikan.
Diperjalanan menuju rumah, terasa sangat senyap. Hati ini terasa sakit, saat membayangkan Lian kedinginan berada di sana. Ini cukup memacu tekatku yang semakin bulat. Akan berjuang semampuku, demi membebaskannya.
"Nanti kita lewat pintu belakang aja, Dan. Antisipasi, takut salah satu dari mereka ada di sana," pintaku.
Tidak ada rasa canggung, karena sudah cukup lama mengenal Dani. Dia teman Lian sejak duduk di bangku SMA. Hingga kini masih menjalin persahabatan, bahkan terasa seperti kerabat, meski tidak ada hubungan darah. Saat bersama Lian, sering kali bersamaan dengan Dani yang kerap berada di kediamannya.
Tanpa menjawab, Dani menuruti. Ketika sampai, langsung mengarahkan mobilnya ke arah belakang. Sesekali menyisir pandangan, demi memastikan bahwa keadaan aman.
"Pintu belakang nggak dikunci, Fi?" tanya Dani setelah turun dari mobil.
"Biasanya dikunci. Aku telepon asisten dulu, sekalian memastikan situasi di dalam," jawabku, yang langsung mendapatkan anggukkan.
Mengambil gawai dari sling bag, kemudian mengelus layar mencari nomor yang dituju. Mulai melakukan panggilan, dan terdengar suara sambungan telepon.
Beberapa saat kemudian, tersambung. Ucapan salam terdengar dari seberang. Sangat kukenal, pemilik suara tersebut adalah Mbak Reni, asisten rumah tangga.
"Mbak, bicara yang pelan kalau ada salah satu keluarga di rumah," perintahku. "Ada siapa saja di dalam?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Sepi, Non. Belum ada yang pulang," jawabnya.
"Buka pintu belakang, cepat, ya?" perintahku, sebelum menuntup sambungan telepon.
Menunggu beberapa saat. Entah kenapa dada ini berdekup kencang. Malam mulai larut, bisa saja tidak lama lagi salah satu dari mereka pelang ke rumah.
Derit pintu cukup mengagetkan. Terlihat Mbak Reni dengan senyum santunnya membukakan pintu.
"Kenapa dari belakang, Non?" tanyanya penasaran.
"Ceritanya panjang," jawabku seraya berjalan masuk, diikuti Dani.
Berjalan setengah berlari, demi menyingkat waktu. Tujuan utama adalah ruangan kerja Papa. Di sanalah aku bisa menemukan data cctv di rumah ini.