Kepergian

3K 148 0
                                    

Berada di rumah Mefi, berusaha menutupi segalanya dari sang mertua. Namun, tak bisa menjamin mereka tidak memiliki rasa curiga.

"Kamu, kan, suaminya, kenapa sampai nggak tahu di mana Mefi?" tanya Mama mertua.

"Nganu, Ma, Mefi nggak izin. Aku hubungi ponselnya nggak aktif." Jujur, aku merasa takut, jika mereka terlanjur menganggapku suami tidak becus.

"Coba cari ke rumah tantenya saja, kadang dia main ke sana." Papa mertua terdengar memberi saran.

Tanpa menunggu, aku meminta alamat lengkap dari semua kerabat. Berniat mengunjunginya satu persatu. Berharap akan menemui Mefi di salah satu kediaman mereka.

Meluncur membelah jalanan, dengan rasa khawatir yang tak kunjung padam. Membuat pikiranku melayang entah ke mana. Jika aku menemuinya nanti, apa yang harus aku katakan? Atau, bagaimana caranya menjelaskan?

Tujuan pertama, aku mendatangi rumah Tante Nina. Entah kenapa, aku mempunyai keyakinan, jika Mefi berada di sana.

Mengendarai, dengan melihat petunjuk jalan di aplikasi pemetaan alamat. Tidak sulit untuk menemukannya dengan cepat, pun tanpa drama tersesat atau salah jalan.

Sampai. Terlihat rumah megah yang memanjakan indra penglihatan. Tak kalah megahnya dengan rumah Mefi. Taman luas yang hijau terasa menyegarkan mata, dilengkapi warna warni bunga cantik. Hanya melihat sekilas dari luar gerbang yang tinggi itu, serupa perisai yang bertugas melindungi rumah di dalamnya.

Perlahan turun, menutup pintu mobil, lalu berusaha masuk ke gerbang yang sedikit terbuka. Tidak terlihat siapa pun di sekitar rumah. Hanya pos satpam yang terlihat seseorang tidur dengan terduduk di dalamnya.

Baiklah, tak perlu membuang waktu. Berjalan mendekati pintu besar itu. Mencari tombol bel dan seketika menekan.

Setelah beberapa saat menunggu, terbukalah pintu itu. Terlihat sosok wanita yang kukenal, Tante Nina. Wajahnya berubah masam, saat sadar siapa lelaki yang ada di hadapannya ini. Sedangkan aku, berusaha mengembangkan senyum.

"Mau apa, Lian?" tanyanya, tanpa mempersilakanku masuk, atau sekedar menyambut dengan senyuman hangat.

"Maaf, Tante, Mefi di sini?" tanyaku balik, tanpa memedulikan sikap sinisnya. Bagiku, semuanya tidak penting, kecuali tentang istriku

"Kenapa Mefi harus ada di sini? Bukankah seharusnya ada bersama suaminya?" Bukannya menjawab, hanya saling melempar pertanyaan.

Lalu siapa yang seharusnya mempunyai jawaban? Apakah rumput yang bergoyang?

"Maaf, Tante, saya hanya mencari Mefi. Dia pergi tanpa pamit, jadi aku mencarinya," jelasku, masih berusaha bersabar dan membendung segalanya.

"Dia akan meminta izinmu, kalau semua baik-baik saja. Tapi sekarang, kamu lihat? Itu artinya, kamu tidak bisa menjaga Mefi dengan benar. Dia tidak butuh lelaki sepertimu. Pergi!" usirnya.

Sorot mata itu telah dipenuhi oleh amarah yang membuncah. Itu artinya, Mefi memang benar-benar ada di dalam. Mungkin saja sudah menceritakan segalanya pada wanita berambut pendek itu. Sehingga reaksinya cukup berlebihan padaku, mengingat sejak awal sikapnya tidak terlalu buruk.

"Saya mohon, Tante. Panggil Mefi sebentar. Hanya ingin bertanya sesuatu. Setelah itu, jika Mefi ingin tetap di sini, aku tidak akan memaksa." Masih berusaha sabar, juga memaklumi atas kebencian yang ia tampilkan. Ini memang salahku.

"Nggak perlu. Sebaiknya kamu pergi!" usirnya lagi, tak membuatku menyerah.

"Mefi ...! Aku datang, Fi!" teriakku, berusaha memanggilnya. Aku tahu, dia wanita yang mudah dibujuk.

Mendadak NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang