Suara ucapan salam membuat aku dan Mefi terperanjat. Seketika merapikan pakaian masing-masing. Aku sibuk dengan kemeja, sedangkan Mefi panik dengan bajunya.
"Cepat rapikan, Fi," perintahku.
Baiklah, ini akibatnya berani mencoba peruntungan, demi memenangkan sebuah peperangan di siang bolong. Sial!
Setelah dirasa sudah siap, aku melangkah ke depan untuk melihat siapa yang datang. Suara lelaki itu sangat menyebalkan. Sudah lebih dari tiga kali mengetuk pintu, membuat kami terasa sangat gugup, bagaikan pasangan mesum yang tertangkap basah. "Sial!" umpatku kedua kalinya.
Membuka pintu, semakin kesal saat terlihat wajah menyebalkan si gendut Dani. Kupikir, dia akan menjadi pelampiasan kekesalanku kali ini.
"Ngapain liatin aku gitu, Ian? Nggak suruh aku masuk?" tanya Dani membuyarkan lamunan.
"Masuk!" ketusku, membuka pintu dengan lebar, kemudian mempersilakan lelaki itu untuk duduk.
"Ian, sini deketan!" perintahnya melambaikan tangan, membuatku mengernyit. Namun, tetap menuruti.
"Semalem kurang apa gimana?"
Pertanyaan Dani kembali membuatku heran. Apa maksudnya?
"Nggak usah jawab, udah ketauan. Semalem kurang, makanya siang bolong begini nambah."
Semakin tidak mengerti apa yang Dani ucapkan, meski tau arah yang ia maksud. Entah mengapa, aku merasa dia tahu apa yang sedang aku kerjakan tadi bersama Mefi.
"Nggak usah melongo! Lihat bajumu itu, nggak sadar kancinya pincang semua gitu, kan? Hahaha!" sambungnya.
Tanpa membuang waktu, menunduk demi membuktikan perkataan Dani. Benar saja, semua kancing terlihat salah memasuki rumahnya. Pincang.
"Sial!" umpatku ketiga kalinya. Berbalik, seraya membetulkan kancing.
Si Kutu Kupret terlihat sangat bahagia di atas rasa malu sahabatnya ini. Terpingkal-pingkal hingga matanya berair. Belum sempat menikmati ladang buah segar, justru terlebih dulu mendapat bullyan.
"Diem kamu! Mulut kemasukan laler baru tau rasa!" ketusku, merasa kesal dengannya yang tak juga berhenti menertawakan pengantin baru ini.
"Haus, Ian. Bagi minum," pintanya.
"Bodo amat!" kesalku.
Dani melenggang melangkah ke arah dalam. Tau betul ke mana arah dia pergi, lemari es.
Tak lama kemudian, dia datang kembali dengan membawa satu botol minuman dan sebuah gelas di genggaman. Pun dengan tertawanya, tidak juga berhenti.
"Cepet ngomong, mau apa ke sini?" tanyaku.
"Sensi amat, udah kayak cewek PMS kamu, Ian. Oh, iya, lupa, mau lanjutin yang tadi?" ledeknya, membuatku memutuskan melempar bantal sofa tepat di wajahnya. Tuman!
Aku memutuskan menyalakan gawai, berselancar pada dunia maya. Tenggelam dalam aplikasi biru yang beberapa hari tidak sempat kubuka.
Tak berselang lama, mendapati sebuah foto dari pemilik akun yang sangat kukenal, Kirana. Terlihat kedua punggung tangan yang selesai dihias dengan hena warna legam, sangat cantik. Dengan caption sebuah doa dan harapan, juga emoticon yang menggambarkan kebahagiaan. Dalam sudut hati tahu betul, ia bermaksud hanya untuk menutupi sebuah kesedihan.
"Aku ke sini, karena kamu nggak bales chatku. Itu barang-barang di outlet sudah banyak yang habis, mau order ke suplayer nunggu konfirmasi kamu dulu. Eh, malah diabaikan begitu saja," papar Dani, berhasil membuat rasa sakit di hati ini melebur.