Aauu!""Aduh ...!"
"Mama ... sakit ...!"
Entah, rasanya lebih baik menelan pahitnya patah hati, dari pada harus menahan rasa sakit dipijat karena kaki yang terkilir.
Seolah tidak ada ampun, wanita paruh baya itu tetap mengelus kaki ini dengan cukup keras. Diputarnya pergelangan kaki ini, hingga sakit terasa membuncah sampai ke ubun-ubun.
Om Farhan sialan! Gara-gara dia, aku harus melompat serupa maling yang tertangkap basah. Namun, benar juga ... aku memang maling.
Baiklah, rasa nyeri seketika meredam, saat mengingat buku itu sudah di tangan. Alamat si montir kini ada di genggaman. Jika esok kaki ini bisa berkompromi, maka tak ada alasan lain untuk menundanya.
"Au ...! Pelan-pelan, Bu!"
Dasar Dani gendut, kenapa mengirim ibu-ibu sadis untuk datang ke sini? Apa tidak ada yang lebih profesional dibanding dia? Tidak ada yang lebih halus?
***
[Mbak Mefi, Pak Farhan mengamuk di kamar semalam. Aku takut, Mbak. Sekarang aku dikurung dalam gudang. Tolong Mbak]
Pesan Mbak Reni membuatku pening, meski sebelumnya sudah menebak itulah yang akan terjadi. Entah mana yang harus aku pilih. Mencari montir tersebut, atau menolong wanita yang sudah membantuku terlebih dahulu. Ah, tentu saja. Mana boleh aku menjadi kacang yang lupa kulitnya. Namun, Lian ....
Aku kembali tenggelam dalam lamunan. Dalam beberapa detik, terasa otak ini tidak berfungsi. Waktu persidangan semakin dekat, sementara ada masalah baru yang harus kupecahkan.
Menatap kaki yang semakin membaik. Kupikir sudah mampu untuk berlari, atau lompat jika bertemu kembali dengan situasi yang terdesak seperti kemarin.
Ada bayangan menakutkan, saat membayangkan rumah itu. Rumahku sendiri, yang seharusnya memberi rasa nyaman untuk pemiliknya. Namun, entah ... kini megahnya rumah tersebut memberikan momok yang menakutkan bagiku.
Kembali berpikir, bagaimana aku bisa masuk dalam rumah itu. Sedangkan Mbak Renilah yang biasa membukakan pintu dari belakang. Mustahil jika aku nekat masuk melalui gerbang tinggi itu, dan masuk dalam rumah serupa akan bertamu.
"Kapan kita pergi cari montirnya, Fi?" tanya Dani. Kami sedang dalam perjalanan setelah membesuk Lian. Semakin hari, suamiku terlihat kian kurus. Ah, hati ini terasa sedih, mendapati pemandangan demikian.
"Mbak Reni, Dan. Dia baru saja ngirim pesan, dikurung di gudang. Om Farhan mengamuk," jelasku.
"Kita ke sana lagi?"
Jujur, aku takut, belum setangguh itu. Dada berdebar, saat mengingat kemarin hampir saja tertangkap.
"Kali, ini biar aku yang masuk," ucap Dani, membuatku menoleh.
"Serius?"
"Iya. Kalau kemarin, yang tahu persis di mana laci dalam kamar Danu memang kamu. Pasti butuh waktu lebih lama kalau aku yang masuk. Sekarang, sih, cuma harus cari gudang. Kamu tinggal kasih tau di mana?"
"Aku lagi mikir aja, nanti masuk lewat mana. Yang biasa buka kunci belakang, kan, Mbak Reni, Dan."
Kami kembali saling bungkam. Memikirkan bagaimana cara masuk ke dalam istana rasa neraka itu.
"Satpam atau tukang kebun, nggak bisa diajak kerja sama?" tanya Dani.
"Yang lama udah dikeluarin, ganti yang baru suruhan Om Farhan."
Dani terlihat berpikir, dia memutuskan menghentikan mobil di bahu jalan. Mungkin agar fokus memikirkan cara. Sedikit berpikir jahat, kalau dia yang masuk, apa bisa lari cepat dengan perut hamil itu?