Kemelut

3.1K 142 5
                                    

Kini aku merasakan, bagaimana remuk redam hati Kirana saat itu. Tahu persis, tetapi hati ini telah membuktikan sepenuhnya. Nyeri, sesak, seperti terhipit oleh dua ruang gelap penuh kehampaan.

"Terima kasih sudah datang. Kamu tidak pernah mengingkari janji, Lian." Ucapannya siang itu, hanya semakin menyayat dada ini.

Bagaimana bisa, dia masih sanggup memujiku dengan mengulas senyum? Ketangguhan hatinya tak perlu diragukan lagi. Sedangkan aku? Entahlah, hanya tak lebih jantan dari banci kaleng.

"Lian, gimana tadi dikantor?" tanya Mefi membuyarkan lamunan.

Tanpa menjawab, aku memberikan amplop yang berisi surat PHK itu. Rasa bersalahku semakin menggunung, dengan Kirana, juga Mefi. Masih saja merasa menjadi manusia yang tak berguna.

Mengaitkan tangan pada lenganku tanpa membaca surat, kemudian bersandar di bahu. Mungkin sudah tau, dan maksud hati ingin berusaha menenangkan suaminya. Aku menghargai itu.

"Enggak apa-apa, Lian. Masih banyak perusahaan mau menerima kamu yang berpotensi," tuturnya.

Aku hanya mengusap pucuk kepala, berusaha menyalurkan kasih sayang meski tanpa terucap. Hati ini masih dihantui oleh gundah gulana. Entah bagaimana cara menyingkirkan, aku mulai muak.

"Kamu sedih?" tanya Mefi padaku, yang masih memilih untuk bungkam.

Kini, kami berhadapan. Tangan halusnya menyentuh pipi ini. Aku tak punya alasan untuk menyakiti Mefi, cintanya begitu besar padaku.

"Jangan sedih gitu, dong, Lian." Sesuatu yang lembut menyentuh pipiku, setelah ucapan menenangkan itu terdengar.

Harum aroma tubuh Mefi mulai membangunkan jiwa nagaku. Mengapa dia sangat pandai menggoda? Kini, senyum yang terlukis di garis bibir ranumnya, bagai melambai memanggilku, untuk melanjutkan aktivitas yang tertunda kemarin.

"Aku mandi dulu, ya?" tanyaku, merasa tidak percaya diri karena banyak berkeringat sejak siang.

"Kenapa? Aku suka bau keringatmu," ucap Mefi, membuatku mengernyit.

"Kok bisa?"

"Enggak tau. Dari dulu, sih. Kamu nggak tau, kan?" Kini Mefi mengaitkan tangan di leherku. Entahlah, dia memang wanita yang sangat menyenangkan.

"Terus?"

Wanita berambut panjang itu mengulum bibir sendiri, bermaksud menyembunyikan rasa malu. Kemudian, melepaskan tangan yang bergelayut, dan berjalan menuju kamar. Sesekali menoleh ke arahku dengan senyum yang masih menggoda.

Baiklah, itu suatu kode keras bagi seorang suami. Tanpa sadar, Mefilah yang mampu mengibur, juga dengan mudah menepis rasa gundah di hati ini.

Mulai memahami alur yang Tuhan berikan. Seakan aku dan dia menjadi suatu pelengkap, dari kekurangan satu sama lain.

Berjalan mengekori persis di belakang Mefi, berusaha mengikuti cara yang ia pilih. Hot pant yang ia kenakan, membuat kaki jenjang yang mulus putih semakin melambai. Body goals yang ia miliki, membuat kecantikannya semakin sempurna.

Mefi berhenti dan berbalik, sedangkan aku tak siap dengan itu semua. Hingga kami bertabrakan, membuat saling merangkul tanpa kesengajaan. Disusul dengan sentuhan lembut nan hangat di bibir ini.

Perlahan berjalan, mengarahkan kaki supaya seirama. Mengatur keseimbangan dengan langkah pelan, hingga sampai ke peraduan.

Mefi terduduk, sedangkan aku menyusulnya tanpa melepaskan. Menikmati alur yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Dada ini cukup berlebihan, berdegup tanpa mengenal santai, semua terasa seperti sangat memburu.

Mendadak NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang