Tak bisa kupungkiri, pertemuan singkat dengan Lian pagi itu, sungguh membekas di relung hati. Bukannya rindu terbayar lunas, justru hasrat yang menyiksa itu kian menggunung. Kerinduan ini semakin berat.
Belum lagi, memikirkan keadaan di sana. Lian tidak mungkin betah. Bagaimana dengan makanannya? Bagaimana dengan tidurnya?
Meninggalkan tempat itu, lagi-lagi dengan tatapan mengabur karena perbuatan embun di pelupuk mata. Kenapa sebuah jarak memisahkan kita, di saat raga ini tak mampu menahan kerinduan?
Hingga aku sadar, bukan lagi waktunya memanjakan diri ini yang cengeng. Tidak ada waktu untuk meratapi pilunya sebuah rindu. Semuanya terbatas, demi menebus kebersamaan yang akan kami dapatkan nanti.
Dani menemukan sesuatu yang mencurigakan. Pada hari itu, terlihat seseorang tak dikenal sempat duduk di teras bersama Om Danu. Entah, aku pun tidak pernah melihat lelaki itu sebelumnya, terlihat asing. Berkali-kali mengingat, tapi tetap sama.
"Yakin kamu nggak kenal, Fi?" tanya Dani setelah memutar rekaman berkali-kali.
Kami berada di apartemen. Satu-satunya tempat persembunyianku. Di sinilah aku merasa aman dan nyaman. Meski pikiran terus berputar, mencari jalan keluar atas masalah ini.
"Kalau bener-bener nggak kenal, kita harus cari tau siapa orang ini. Kenapa bisa berinteraksi sama Danu sontoloyo," sambungnya.
"Gimana caranya kita cari tau orang itu?"
Dani terlihat berpikir. Sedangkan aku, belum menemukan cara, bagaimana langkah awal mencari tahu tentang lelaki asing berbadan tinggi besar itu.
"Selain kerabat, siapa yang bisa kamu percaya di dalam rumahmu?" tanya Dani.
Pertanyaan itu membuatku berpikir, hanya Mbak Renilah yang biasanya menuruti semua perintahku. Seperti malam itu, saat aku masuk ke rumah untuk mengambil rekaman cctv.
"Mbak Reni, Dan."
***
Pagi itu, aku mengatur pertemuan dengan Mbak Reni. Cukup sulit, karena tidak mudah untuk meminta izin keluar dari rumah itu. Kecuali hari libur, atau pergi membeli keperluan rumah. Sedangkan aku sangat membutuhkan beberapa keterangan darinya, tanpa mengulur waktu atau menunda. Semua harus cepat.
Cukup lama menunggu, akhirnya wanita 30 tahun itu datang dengan senyum khas santunnya. Kupersilakan duduk, dan memintanya memilih minuman atau makanan yang ia inginkan. Kami berada di salah satu cafe di sudut kota dengan nuansa milenial.
"Sebelum aku bertanya, kamu harus berjanji untuk merahasiakan pertemuan ini pada siapa pun, Mbak. Mengerti?" pintaku.
Mbak Reni mengangguk, sesekali menatapku dan Dani secara bergantian. Kalau boleh aku tebak, rautnya sedikit tegang. Mungkin mengerti bahwa situasi saat ini sedang meradang.
"Aku percaya kamu orang baik, pasti tahu mana yang benar dan mana yang salah. Kamu kenal betul orang-orang yang ada di dalam rumah itu, kan, Mbak?" tegasku, yang langsung mendapat anggukkan darinya.
"Kami sedang mengumpulkan banyak bukti, dan mungkin butuh sedikit bantuan darimu." Aku mulai memperlihatkan rekaman, yang menunjukkan seorang lelaki asing bagiku.
Wanita berambut ikal itu memperhatikan secara seksama di setiap detiknya. Tak lengah sedikitpun.
"Orang itu beberapa kali datang ke rumah, Mbak," ucap Mbak Reni.
"Kamu kenal, Mbak?" tanyaku.
"Kalau nggak salah, dia montir langganan Pak Danu."
Montir. Ya, ini sebuah kunci utama. Tentu saja kemungkinan dialah yang menjadi tangan kanan Om Danu.