Kemelut

2.8K 170 7
                                    

"Jangan membuatku menerka-nerka. Katakan yang jelas, Fi," ucapku, tak ingin mendengarkan sesuatu yang bertele-tele, meski tahu betul arah yang ia tuju.

"Aku bahagia menjadi sahabatmu. Rasa sesal tidak juga mau pergi, sejak kita menikah. Aku memposisikan diri, bagaimana rasanya menjadi Kirana. Sedangkan bayangan cinta itu masih bersayam di hatimu. Ini cukup membebaniku, Lian. Aku lebih menikmati mencintaimu dalam diam seperti yang lalu, tanpa berharap memiliki."

Baiklah, aku menarik sebuah kesimpulan, bahwa dia telah membuat sebuah pilihan untukku. Bertahan, atau berpisah.

Bagaimana bisa, dia menciptakan dua hal yang harus aku pilih? Sedangkan sejak awal aku sangat berusaha, bahwa semua ini bukanlah lelucon, apalagi hanya dianggap sebuah keputusan yang mempunyai jangka waktu. Tentu saja bukan.

Kembali mengingat perkataan Kirana sore itu, semua yang sudah dikorbankan tidak boleh berakhir dengan sia-sia. Aku harus mencari tahu, sebab apa yang sudah berhasil membuat Mefi putus asa?

"Kamu mau kita berpisah?" tanyaku tanpa berbasa basi.

"Aku hanya memberimu pilihan. Semua kerabat menyuruhku untuk mempertimbangkan pernikahan kita. Mereka sudah curiga, Lian."

"Jadi, kamu melakukan ini atas dasar bujukan mereka?" tanyaku mengernyit.

Ini semakin jelas, bagaimana liciknya ingin menyingkirkanku melalui tangan Mefi. Jika ini yang mereka lakukan, maka tidak menutup kemungkinan kematian orang tua istriku patut dipertanyakan.

Apa pedulinya mereka dengan pernikahan Mefi? Mereka tahu betul, aku bisa melindunginya kapan saja, maka dengan tegas menganggapku sebagai ancaman.

Ini menarik, aku bisa mencari tahu kronologi terjadinya peristiwa, saat nyawa keduanya melayang. Bisa jadi semua karena sudah disabotase.

"Mereka menginginkan kita berpisah?" tanyaku memastikan.

Mefi mengangguk, dan berkata, "Tanpa mereka meminta, aku sudah mempertimbangkan semuanya. Aku nggak mau memaksakan kehendak. Aku rela, kalau kamu akhirnya kembali dengan Kirana."

"Jangan membawa nama Kirana, Fi. Ini situasi yang berbeda. Kamu nggak pernah tahu apa isi kepala semua kerabatmu itu!" tegasku, amarah mulai menguasai jiwa ini.

"Kita akan tetap bersama. Kalau kamu mau selamat, percaya padaku," sambungku.

Tahu betul Mefi tidak mengerti apa pun tentang Kirana. Bahkan tak tahu jika mantan kekasihku itu sudah menikah, yang justru sedang berada di ambang perceraian.

Jika aku sedikit egois, maka kubiarkan Mefi tanpa mau tahu tentang akal busuk keluarganya, dan menanti Kirana demi merajut cinta lama. Namun, tidak. Tanggung jawabku baru saja dimulai, tentang amanat yang sudah Papa percayakan padaku, untuk menjaga anak semata wayangnya.

"Ada apa?" tanya Mefi mengernyit.

"Kapan pembagian warisan orang tua kamu dilakukan?"

"Warisan?" Dia kembali bertanya dengan reaksi yang sama. "Jadi, benar kamu mengharapkan uang?" sambungnya. Sungguh polos istriku.

"Tunggu, jadi mereka sudah membicarakan ini sebelumnya?" tuduhku.

Pertanyaan Mefi menjelaskan, bahwa mereka sudah membicarakan hal ini padanya. Mulai mencium aroma tuduhan, yang kemungkinan memojokkanku. Biar kutebak, mereka meracuni otaknya, untuk beranggapan bahwa suaminya ini haus akan harta.

"Kamu dengar baik-baik. Kamu akan tau siapa mereka, saat pembagian warisan dilakukan. Jangan pernah mendengarkan mereka, atau kamu akan menyesal, Fi."

Mendadak NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang