14. Strange, Where It Began

798 253 54
                                    

"Apa maksudmu tidak akan penasaran?"Kupegangi lengannya,khawatir ia menghilang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa maksudmu tidak akan penasaran?"
Kupegangi lengannya,
khawatir ia menghilang.
Namun, tanganku seperti kabut menggenggam kabut
melebur sesaat dengannya
lalu tersedot ke arah suara-suara akrab.

"Dengar,
mereka memanggilmu.
Pulanglah, Aranza."

"Aku tidak mau pulang
tanpa Kak Esa!" jeritku,
memusatkan kehendak
pada tangan dan kaki
untuk meraih Hiresa,
memeluknya.
Seperti kabut melingkupi kabut,
bergeming.
Suara-suara itu pun memudar.

Hiresa geleng-geleng.
"Keras kepala.
Baiklah. Tapi jangan jauh-jauh dariku.
Jangan pergi ke wilayah gelap dan asing."

Kabutnya bergeser,
perak berkilau,
membungkusku sekarang.
Keresahanku sirna.
"Mau tahu rahasiaku?" bisiknya.
"Bagaimana aku yakin kamulah untukku?"

Sebetulnya bukan itu yang ingin kutahu.
Sesuatu yang lebih penting.
Namun sekelilingku berubah
atau kami yang berpindah?
Kolam, danau, pantai, dan sungai
cemerlang diterpa cahaya.

"Tempat apa ini?
Asing tapi familier."

"Tempatmu bermimpi,
dan bertemu denganku."

Aku menatapnya tak percaya.
Ia pasti menggodaku.

Hiresa serius.
"Kamu hanya tidak mengenaliku.
Mimpi sering absurd.
Kadang, aku dijadikannya anak kucing,
kali lain, tak berdaya sebagai tiang lampu."

Aku tertawa.
"Jadi, tiang lampu di tepi danau itu Kak Esa?
Tinggi, gagah, berukiran indah."

Hiresa cemberut.
"Bukan. Aku tiang lampu di tengah danau,
menyedihkan...."

"....tapi aku justru berenang ke tempatmu,"
sambungku, teringat mimpi terakhir.

Kabutnya bergetar hangat.
"Mimpimu aneh-aneh, Coconut,
Memengaruhi mimpiku."

"Kenapa bisa begitu?
Aku tidak tahu mimpiku
berkait denganmu di belahan dunia lain."

Hiresa menuntunku,
kami duduk di bangku.
"Waktu aku koma di rumah sakit,
setelah astralku menemui Mama,
seorang kakek menunggu dekat tubuhku.
Ia menuntunku ke kamar sebelah,
ada bayi perempuan yang sakit
dikelilingi keluarganya.
Mereka terlalu berduka
tidak melihat kami.
Kakek menyuruhku
membangunkan bayi itu,
karena hidupku bergantung padanya
suatu saat nanti."

Bayi itu aku.
Panas tinggi tak beruara.
Namun tiba-tiba menangis keras.

Kupandangi Hiresa, terharu
disusul rasa jengah,
teringat dongeng Putri Tidur.
"Bagaimana Kak Esa membangunkan aku?"

"Kucubit pipimu.
Memangnya ada cara lain?"
sahutnya, dengan cengiran bandel usia 7.

 Memangnya ada cara lain?"sahutnya, dengan cengiran bandel usia 7

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
PudarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang