20. Did He Deserve It?

791 225 21
                                    


"Ke kamar mayat?"
Kak Fatah nyaris jatuh dari kursi.

Aku mengangguk.
Sudah kuceritakan tentang Rudy,
dan minta Kak Fatah mengantarku.

"Kamu tahu apa isi kamar itu?
MAYAT!"

"Rudy menyimpan petunjuk.
Beruntung, jenazahnya belum diproses,
aku khawatir, petunjuk terabaikan.
Belum tentu orang percaya komunikasiku dengan  arwahnya."

Kak Fatah meringis.
"Benar juga.
Kudengar autopsi akan dilakukan pagi ini.
Tapi.... masuk ke sana...."

Aku memukul lengannya.
Lalu menarik tangannya.
Tak ada waktu untuk berdebat.
Fajar menjelang,
Pergantian shift adalah waktu terbaik untuk menyelinap.

Dan kami berhasil menyelinap.
Kak Fatah tercengang,
memberi isyarat,
"Ternyata tidak seseram yang kukira.
Mereka tidak bergelimpangan,
tapi dibaringkan dalam laci-laci itu.
Rudy yang mana?"

Aku memeriksa buku catatan di konter.
"Belum dilacikan.
Masih di ruang penerimaan."

Kak Fatah mengikutiku.
Terlalu dekat.
"Jaga saja di pintu!"
Kuputuskan begitu
daripada memberinya mimpi buruk.

Aku masuk sendiri,
ruangan bagian dalam,
hanya ada satu meja panjang,
dan jenazah tertutup kain di atasnya.
Pada kakinya, tergantung kartu penanda.
Rudy.

Sudah kulihat lelaki ini dalam versi lebih buruk.
Tetap kupersiapkan diri.
Membuka kain, pelan-pelan.
Berusaha tidak melihat wajahnya.
Berusaha tidak menyentuh kulitnya.

Ia memakai jaket
dan celana baggy
dengan banyak saku.
Masuk akal jika ia menyimpan sesuatu.

Semua saku yang terjangkau,
kosong.

Aku mulai panik.
Apa sebetulnya yang ingin disampaikannya?
Kuingat-ingat gerak tangannya di bidang astral.
Adakah isyarat?
Kuamati sekarang, tangan kanannya mengepal.

Aku ragu sejenak.
Ini mengganggu barang bukti.
Kak Fatah menggamitku.
Jantungku nyaris terlompat.
"Jangan bikin kaget.
Bantu buka tangannya."

"Apa?" Kak Fatah mendadak tuli.

Kulakukan sendiri.

Rudy menggenggam robekan kertas.
Seperti invoice,
jumlah uang,
cap toko perhiasaan
dan tandatangan penerima,
tanpa nama.

"Kuitansi cicilan kalung?"
Kening Kak Fatah berkerut.
Hilang takutnya
mencari lebih teliti,
memiringkan jenazah.

Pada lengan kiri Rudy,
ada bekas tulisan bolpoin
pudar,
kuhafal,
nomor Hiresa.
Rudy berusaha menelepon?

Dompet Hiresa pun ditemukan
di saku belakang.
Bernoda darah.
Dan ini membuatku kecewa.














PudarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang