Pintu kamarnya tertutup,
Kak Fatah menggunakan bahunya
untuk menerobos masuk,
tidak terkunci,
aku mengikuti,
dengan jantung serasa naik ke tenggorokan,
rasa takut yang begitu nyata.Namun Hiresa terbaring di ranjang,
dengan kabel dan selang di tempatnya,
mesin-mesin menyala seperti waktu kutinggal,
dada naik turun teratur."Hiresa baik-baik saja," kata Kak Fatah, memelukku yang nyaris merosot ke lantai.
Suster dan dokter jaga
berdatangan.
Kak Fatah sibuk menjelaskan.Mereka memastikan Hiresa
tidak apa-apa.
Saat itulah kulihat pintu toilet bergerak,
membuka secelah dan menutup lagi.
Kak Fatah juga melihatnya.
Aku didorong menyingkir.
Suster dan dokter dimintanya berjaga di pintu."Siapa di dalam? Darlina? Keluarlah!"
Tidak ada tanggapan.
Kak Fatah mengetuk.
Mendorong pintu,
dan Darlina menerjang keluar,
untuk ditangkap suster.
Memberontak lagi.
Dua orang memeganginya.Aku tidak mendengar apa yang diteriakkan orang-orang dalam kehebohan itu.
Pastinya ada seruan, jerit dan tangis Darlina,
disusul sikap anehnya
menunjuk-nunjuk
seperti sedang berpidato,
Sia-sia menenangkannya
sampai sekuriti datang membawanya pergi.Sepeningal mereka,
Kak Fatah mengamati sekeliling kamar,
memeluk diri sendiri
bergidik."Kenapa? Darlina kenapa?" tanyaku.
"Kamu tidak lihat apa-apa?"
Aku memandang sekeliling, dan menggeleng.
"Darlina seperti bertengkar hebat dengan diri sendiri,
atau sesuatu di dalam dirinya.
Saling menyalahkan.
Satu Darlina berapi-api menasihati,
Satu lagi mengusirnya pergi.
Tidak bisa dipastikan ia datang untuk mematikan life-support Hiresa.
Kalaupun begitu, niatnya dibatalkan,
sendiri atau karena sesuatu itu."Aku mengusap muka, lelah.
Ketegangan menumpulkan otakku.
Tidak mau menebak-nebak lagi.
Berhenti menyelidiki apa yang terjadi.
Aku hanya ingin meletakkan kepala di ranjang,
memegangi tangan Hiresa.
Menjaganya setiap waktu.Kak Fatah mengangguk, maklum.
Tiba-tiba mengeluarkan ponsel.
Sepertinya ditelepon Bapak.
"Pesawat Dokter Anna sebentar lagi mendarat.
Bapak ke bandara menjemputnya."Berita terbaik hari ini.
Kubuka tangan Hiresa.
Kuguratkan huruf-huruf di telapaknya,
"Bangunlah, sambut mamamu dengan senyum.
Bangunlah, aku tidak mau kehilangan dirimu lagi."Jemarinya tiba-tiba menutup
menggenggam telunjukku erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pudar
Teen FictionAranza tuli dan Hiresa bisu-tuli. Sebuah kejadian mempertemukan mereka 10 tahun lalu, menjadi akrab walau hanya dua bulan, karena Hiresa melanjutkan sekolah di Amerika. Aranza sudah kelas 11 sekarang. Hiresa berusia 25 tahun dan kembali ke Bandung. ...