6. pertengkaran

428 59 1
                                    

"pokoknya gue gak mau tahu! harus ada foto sunsetnya, gimana bisa cerpen dan puisi tapi gambarnya sayur brokoli?" cecar Dea geram di telepon, membuatku mendesah pelan. aku yang sibuk menata makanan untuk makan siang kini berhenti sambil memijit kening.

aku meletakkan ponsel di atas meja dapur, membiarkan Dea berkomat-kamit sendiri, hingga tak sengaja aku justru menyenggol gelas plastik berisi air putih.

"halo Cemara! dengar gak sih! lebih bagus kalau sekalian karya Lo yang dimuat, lagi pula sesusah apa sih dapatin foto yang bagus"

"yang kemarin kurang bagus?" tanya ku yang melihat Matahari keluar dari kamar mendengar kehebohan yang kuciptakan di siang hari.

"kuranglah, foto kabur semua gitu gimana bagusnya, lagi pula yang lo foto rata-rata manusia Ara"

"ambil dari google aja please"

"gak bisa, lo ahrus profesional dong"

"gue aduin ke bang Rudi baru tahu rasa"

"idih, pakai aduin segala, jangan campurin masalah pribadi ke masalah pekerjaan pokoknya foto sunset yang benar., titilk"

aku mematikan ponselku tepat ketik Dea mengucapkan titik.

"ada apa?" tanya Matahari menatapku yang tampak mulai kesal.

"kenapa wanita cantik marah-marah di rumah saya siang bolong begini?" kali ini kalimat yang keluar dari mulutnya cukup mengenyahkan kekesalanku pada Dea.

"ada pekerjaan plus Deadline, you know lah" ucapku sambil tersenyum.

"oh ya, saya sudah menyiapkan makan siang, tapi saya mau permisi mau keluar, jadi gak bisa masak untuk makan malam"

"mau kemana?"

kali ini aku menggigit bibirku bingung, apakah aku harus jadi alasan agar kamu kelaur dari zona nyamanmu atau tidak.

"ada pekerjaan" ucapku gelisah.

"pekerjaan?"

"iya, Dea, tunangan bang Rudi, sepupu saya yang kemarin, dia bersikeras kalau saya harus mengambil sendiri gambar sunset, soalnya gambar yang kemarin katanya kabur semua"

"baiklah" Matahari menatap jam di dinding kemudian mengangguk pelan. dan aku melepaskan celemek dan hendak masuk ke kamar.

"setengah jam lagi kita berangkat" ucap Matahari.

aku tertegun di tempat dan berhenti di ambang pintu berbalik ke arahmu ayng sudah berdiri di depanku kini tak ada jarak diantara kita, aku merasa bahwa kini kita sungguh sudah sangat dekat.

"kita?" aku mengulang kalimat yang baru saja diucapkan Matahari,s seolah terdengar kurang jelas.

"iya kita, saya sudah janji untuk nemenin kamu kemana pun juga"

aku tak suka jawabanmu Matahari. aku tak suka jika aku aadalah alasan perasaan ketidaknyamananmu.

hidupmu di dalam rumah ini.

"sepertinya kita perlu bicara" ucapku mulai kesal.

Mbok Minah seakan mengerti aura yang tercipta di antara kami berdua, sehingga wanita paruh baya itu memutuskan untuk meninggalkan ruang tengah walau masih belum selesai disapu setengah.

aku melipat tanganku di dada, itu tandanya jika kini aku benar-benar sudah kesal.

"kenapa harus kita? saya bisa sendiri, lagi pula saya buka anak kecil yang harus ditemani kemana pun juga"

"saya tidak keberatan, dan kamu memang bukan anak kecil Cemara, saya hanya khawatir kalau ada apa-apa terjadi sama kamu." ucap Matahari heran.

"jangan perlaukan saya seperti orang yang benar-benar sakit Matahari, kamu tidak tahu apa-apa tentang saya, lagi pula saya keberatan, kamu tidak terbiasa dengan dunia luar, jujur sajalah kamu tidak merasa nyaman kan diluar"

si buruk rupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang