15. bagian tak berjudul

127 17 1
                                    

"jadi itu yang namanya Matahari?" tanya Dea sambil menyeruput cofee mixnya.

"Ini artikel.yang ketiga dalam tahun ini, pangeran the beast Lo makin sukses" ucap Dea tanpa perlu mendengar jawabanku.

Kalimat itu membuatku sedikit bahagia. Melihat kesuksesan dari pria yang kita cintai. Namun ada bumbu kekecewaan, kecewa karena perpisahan ini hanya berdampak buruk bagiku.

setahun berlalu, masih terasa singkat, dan juga terasa hangat bagaimana nafas Matahari di wajah, dan juga tatapannya yang enggan aku lupakan.

Kalimat agar aku tidak pergi meninggalkannya.

"Are you okay dear?"

"Okay." Jawabku tersenyum kecut "dunia harus terus berlanjut , seperti yang Lo bilang ini dunia nyata bukan dunia princess. Harusnya gue tau diri lebih cepat"

"Gak usah sedih, kan ada Sarwono" ucapan Dea terasa ringan namun sedikit menyentil rasa sensitif ku.

"Ini bukan tentang ada siapa atau tidak. Ini tentang kita cinta siapa dan justru bersama siapa"

"..." Aku mencoba berpikir jernih namun bayangan Matahari lagi lagi muncul . Tatapan tajam dengan wajah yang rusak. Entah mengapa begitu menggangguku.

"Lo gak akan pernah tau rasanya"

"..."

"ini laporan udah gue kerjain" aku menyerahkan setumpuk berkas-berkas pada Dea disertai tatapan tidak percaya.

"lo gila kerja?! atau emang beneran gila?"

"kalau ada tugas lagi kasih aja semua sama gue"

di atas tumpukan berkas itu Dea justru meletakkan sebuah majalah disana tampak wajah Matahari sebagai sampul.

pebisnis buruk rupa yang sukses.

"norak amat judulnya" ucapku namun masih menatap sampul majalah tersebut dengan hati yang penuh kerinduan.

"segitu cintanya lo ama dia Ra?"

aku hanya diam memandangi majalah tersebut. tatapan yang sulit kulupakan, beberapa kali panggilan Matahari kuacuhkan. tak ada lagi yang ingin kuingat. aku punya Sarwono. dan aku punya kehiduapnku sendiri.

Hidup harus terus berlanjut.

"apa sih yang buat lo cinta ama dia?" tanya Dea lagi membuatku menarik nafas pasrah menatap calon kakak ipar yang tingkat rasa ingin tahunya mengalahkan anak kecil.

"gue balik" ucapku menghabiskan kopi yang sudah dingin.

"kok balik? Cemara?"

aku tak menghiraukan ucapan Dea, yang kutahu hanyalah air mata mengalir deras di kedua piupiku sekarang. waktu membuatku menderita dengan rasa rindu yang menyayat hati.

sesampainya di mobil aku membuka majalah tersebut, membaca artikel tentang dirimu yang membuatku semakin rindu.

aku masih menunggunya. red

kalimat terakhir yang justru membuatku terisak keras. kulajukan mobil menuju rumah sakit.

Kak Yu. Aku ingin menghancurkan diriku berkeping-keping. Sebagai wujud dari rasa perih yang tak bisa diobati dengan operasi atau bahkan obat-obatan.

###

Kepada angin yang selalu membawa rinduku terbang dan enyah. Bantu aku untuk bertahan dalam setiap menit rindu yang ingin bertemu tuannya. Biarlah rindu itu aku yang punya

"Ayo kita menikah" ucapku pada Sarwono yang tengah sibuk di dalam ruang prakteknya.

Nafasku terasa sesak. Cincin yang indah melingkari jari manis darinya terasa menyakitkan.

si buruk rupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang