4. percakapan

502 60 2
                                    

Pagi ini berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya.

Pagi ini mendung. Dan hujan menahan ku di rumah. Tak banyak yang bisa kulakukan di dalam rumah. Selain mengobrol singkat dengan mbok Minah

"Sejak non disini tuan jarang ngamuk dan jarang megang labtop non"

"Oh ya? Kebetulan mungkin mbok" sanggahku mencoba untukt idak cepat menyimpulkan. atau mungkin aku mengelak untuk menyimpulkan.

"Enggak non, biasanya hampir tiap hari dia ngamuk lempari barang-barang"

"Mungkin karena dia kesepian mbok"

"Iya non, baru kali ini setelah tujuh tahun ada wanita cantik yang bertamu ke rumah. Non gak bisa kalau tinggal disini?"

Aku tertawa mendengar celotehan mbok Minah.

"Yah enggaklah mbok, saya kan punya kerjaan di Jakarta"

"Yah siapa tahu kan"

"tadi malam tuan Matahari keliatan cemas non gak pulang-pulang. dia marah-marah non kali ini gak sampai melempar barang" sambung mbok Minah dengan penuh semangat.

"oh ya?" dan aku sibuk mengumum senyum. entah apa artinya itu?. entah aku yang berpikir terlalu tinggi, atau aku yang takut untuk bertanya lebih.

"iya non, dia mondar-mandir begitu terus megang kunci motor akhirnya pergi dari jam delapan malam"

kak Yu kenapa aku bahagia mendengar Matahari yang mencemaskanku? aku harus bagaimana kak Yu?.

Pembicaraan kami di sela oleh kehadiran Matahari

"Butuh sesuatu?" Aku tersenyum sambil menyelesaikan kopi pagiku.

"Saya mau kopi" Matahari menatapku kali ini. Dan entah kenapa aku menyukai setiap tatapannya.

"Oke"

"Antar ke kamar saya"

###

"jadi kamu lulusan IT?" Tanyaku pada MAtahari.

Hubunganku dengan Matahari kian membaik. Pria itu membiarkanku melakukan semua yang ingin kulakukan.

Seperti sekarang ini, dia membiarkanku berkeliling, sedangkan dia sendiri sibuk dengan layar laptopnya.

"Iya"

"Beli labtop baru lagi?" Tebak ku berhenti menatap satu lukisan yang membuatku merasa sedih.

Tatapanmu kak Yu membuatku bersedih. Seakan bertanya kapan gerangan aku akan memberitahukan rahasia kita berdua padanya.

"Ini lukisan siapa? Teman hidup?"

Aku menunjuk ke arah Matahari dengan tatapan datar.

"Awalnya seperti itu, tapi dia menghilang"

Aku sadar diri. Aku masih tau diri. Dan entah kenapa tiba-tiba ada satu emosi yang tak dapat kutahan lagi.

"Sepertinya saya harus pergi. "

Kini Matahari berbalik menatapku penuh selidik.

"Kenapa?"

Pertanyaan yang keluar dari mulutnya membuatku terpana. Aku harus memberikan penjelasan atas kepergian ku dari dari dalam kamarnya.

"Rasanya tidak nyaman masuk ke dalam kamar seorang pria yang menggantung lukisan wanita lain"

Dan ucapanku terasa seperti sebuah kecemburuan. Beberapa detik kemudian aku hanya terdiam mencerna kalimat yang keluar tanpa kupikirkan.

si buruk rupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang