"jangan di buka non, nanti kalau tuan bangun nanti dia marah" ucap mbok Minah ketika melihat aku yang mengikat gorden membiarkan cahaya masuk.
"Biar udara bisa masuk. Lagi pula mbok juga ngerasa kalau rumah ini pengap kan?"
"Tapi non"
"Nanti kalau Matahari bangun saya langsung tutup deh mbok"
Pagi ini, suasana hatiku begitu bagus. Membuat sisi bersih-bersih ku bangun dari tidur panjangnya.
Memasak nasi goreng untuk sarapan pagi ini dan kemudian beberes rumah mengenyahkan semua debu.
Hingga aroma nasi goreng dan juga kopi tercium, dan akhirnya membuat Matahari terbangun.
Aku melihat Matahari yang berdiri di ambang pintu menatapku yang mematung dengan jantung yang berdegup kencang.Rambutku yang kuikat satu kebelakang namun membiarkan sisa rambut lolos dari karet hitam terjuntai di dahi.
Aku tahu jika ini lancang.
Buru-buru aku berlari hendak menutup jendela hingga lutut ku terbentur sudut meja jepara.
"Tidak usah ditutup biarkan saja terbuka" ucap Matahari seakan tak perduli pada seribu cahaya yang masuk ke dalam ruang tamu.
Aku diam dan menyunggingkan sebuah senyuman.
"Mau kopi?" Tawaranku dijawab dengan anggukan, sebuah rasa canggung yang entah dimuali dari siapa.
"Selamat pagi tuan, apakah jadi memesan labtop lagi?" Seorang pria bertubuh bungkuk datang ke meja makan.
"Gak usah mang" jawaban Matahari disambut tatapan aneh dari mbok Minah. Namun tak ada kalimat protes yang keluar.
Mbok Minah justru menatapku dengan senyum asing yang membuatku merasa tak nyaman.
"Sarapan pagi ini nasi goreng. Kalau sudah selesai saya mau minta izin boleh?"
Matahari meneguk kopinya sambil melihat ke arahku dengan mata penuh selidik.
"Mau kemana?"
"Pantai selatan"
"..."
"Kamu mau temenin saya?" tawaranku membuat Matahari berdehem sambil melipat tangan di dada.
"saya tidak suka keramaian" jawaban yang membuatku mendesah pelan dan menerbitkan rasa kecewa yang entah sejak kapan kuciptakan.
setelah sepiring nasi goreng selesai disantap Matahari beranjak hendak masuk kembali lagi ke dalam kamar.
"jangan lupa tutup goredennya kembali kalau kamu mau pergi"
"iya" jawabku singkat dan kemudian hanya ada bisu diantara kami. anehnya bukan bisu yang biasa, kali ini bisu yang baru diantara rasa kecewa dan juga harapan-harapan baru yang aku tahu mulai tak masuk di akalku.
###
"kamu udah cerita? udah kasih tahu?" Cecar Dea di telepon membuatku mengaduk-aduk es dawet hingga es larut dan mengencerkan gula merah yang kini terasa tak manis lagi.
"belumlah" ucapku sedikit kesal.
"belumlah? jawaban apa itu?"
"yah sabar, semua butuh proses De" semua memang butuh proses tak semudah itu memberitahukan apa yang sebenarnya ingin diketahui oleh Matahari.
"astaga, gue mulai curiga sama lo Ra"
"terserah" jawabku ketus.
"Ra, hati-hati, lo bisa nyakitin Matahari dua kali kalau seperti ini"
KAMU SEDANG MEMBACA
si buruk rupa
Romans"nama saya Cemara" wajah Arya tampak begitu gelap. sebuah bekas luka bakar di sisi kiri disembunyikan dalam kegelapan yang ia jaga setia di dalam kamar. "kamu diterima" ucap Arya singkat. "tapi saya tidak melamar pekerjaan disini" ucapan Cemara sing...