13. Matahari

361 47 1
                                    

"Cemara!" teriakan Dea membuatku terkejut. suara cemprengnya dan juga matanya tampak berwarna merah dan bergambar uang.

"semangat amat lo!"

"iya, lo tahu gak? ada pebisnis yang pernah gue lacak, sekarang mau unjuk muka, dan dia mau jadi cover majalah kita, gue yakin majalah kita sekarang pasti bisa sukses, dan baik di pasaran"

"kenapa bisa begitu?"

"karena dari sekian majalah kita yang dia pilih buat show on untuk pertama kali"

"oh"

"Ra, please wawancarai dia ya, lo tau kan kita lagi down banget"

"hmmm, kenapa harus gue"

"karena gue cuma percaya sama lo" ucap Dea.

"lagi pula lo kan penggila kerja, gue udah cerita banyak tentang lo sama dia di telepon. gue bilang ada pegawai yang rajin banget pecinta dan penggila kerja yang pastinya punya kwalitas buat meliput si bapak ini"

"oh itu penghinaan atau pujian?" tanyaku yang disambut kekehan nenek lampir dari mulut mungil Dea,

"gue heran kenapa Rudi mau sama lo"

"jadi lo setuju kan?" tanya Dea memastikan.

"iya gue setuju, atur jadwal aja"

"siang ini"

"cepat amat?"

"iya, wawancara akan diadakan di ruang liputan seperti biasa"

"oke"

wawancara seseorang yang berpengaruh itu sesuatu yang tak cukup merepotkan, pasalnya tak hanya wawancara kita akan direkam langusng dan diambil gambarnya.

yah kurang lebih seperti itu. namun semua pekerjaan terasa sama di mataku.

"apa saja, sserahkan semua pekerjaan sama gue" ucapku putus asa. aku ingin menahan semua kalimat yang sudah menggantung di ujung lidah.

melupakan tatapan dingin Matahari yang menatap aku dan Sarwono di Jogja tempo hari.

aku tak ingin mencintainya.

###

"lo sehat kan Ra?" pertanyaan Dea membautku menutup labtop dan mengambil pena, bersiap-siap untu wawancara langsung.

Dea melirik smartwatch yang kupakai atas permintaan Sarwono agar aku dapat mendeteksi kecepatan degup jantungku.

"sehat, memangnya kenapa?"

"lo embat semua pekerjaan, ada apa? lo pengen lari dari apa?"

"enggak apa-apa kok, gue lagi pengen kerja aja." aku diam menatap botol obat yang kumasukkan ke dalam kantong.

"selamat siang" Sarwono tiba-tiba muncul membuatku menjatuhkan obatku, mengagetkan ku yang sedang berpikir tentang Matahari.

Sarwoono memungut botol obatku yang terjatuh "belum makan siang?" tebak Sarwono membuatku tertunduk malu.

"belum, rencananya habis wawancara" ucapku sambil tersenyum. Sarwono tampak tampan dengan setelah kemeja putih yang digulung hingga ke siku, senyumannya dapat membuat gadis mana saja jatuh cinta.

kecuali aku. ah entahlah, ada apa dengan hatiku.

"boleh aku temani?" tanya Sarwono dijawab anggukan dari Dea yang ikut dengan kami dari belakang.

"tumben lo ikut?" tanyaku heran.

"gue heran sama liputan kita yang satu ini, soalnya selama ia menjajaki kariernya baru kali ini dia show on dan memilih majalah kita, hebat banget kan?"

si buruk rupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang