12. aku dan si buruk rupa

405 46 0
                                    

Aku tak pernah tahu bagaimana caranya cinta bekerja di dalam hati yang sudah kehilangan rasa percayanya.

"Lagi ngapain?" Suara di seberang membuatku terdiam berguling di atas kasur empuk.

"Di kamar sama Rena, bentar lagi mau istirahat."

"Semua baik-baik saja kan?"

"Begitulah"

"Mau mawar gak?" Pertanyaan Sarwono membuatku mengerutkan kening heran, menatap Rena yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan piyama.

"Kalau mau emang bisa nyampe?"

"Bisa"

"Gimana caranya?" Aku tersenyum mendengar kalimat Sarwono yang merdu. Pria asli Jawa itu berhasil membuatku berguling sambil menatap kuku yang baru saja ku cat warna merah.

"Apa pun bisa aku lakukan kalau kamu yang minta"

"Kenapa bisa begitu?"

"Karena aku cinta sama kamu." Rena menatapku sambil melihat ke arah pintu kamar.

Ucapan Sarwono membuatku berlari membuka pintu.

"Hai dear" pria Jawa itu kini berdiri tepat di hadapanku. Memelukku dengan sebuket mawar merah merekah di depanku.

"Terimah kasih" ucapku tersenyum membalas pelukannya. Aku membiarkan Sarwono mencium keningku.

"gimana? deg-deg-an gak?" pertanyaanya kemudian membuatku mengerutkan kening heran.

"maksudnya?"

"aku lagi berusaha buat kamu merasa deg-deg an kalau disampingku" ucap Sarwono sambil tersenyum, pria yang lebih mirip Aditya Rizki itu hanya membuatku geleng kepala.

dasa Sarwono aneh.

"udah deh, pergi sana, kalian berdua buat aku mau muntah" ucap Rena menutup pintu mendorongku pelan. satu tanganku di genggam Sarwono, satu lagi tanganku memegang ponsel.

aku tak merasa deg-deg an sama sekali, jantungku diam dan berirama seperti biasa, walau senyum maut Sarwono yang selalu membuat para suster meleleh hanya tampak biasa di depanku.

entah kenapa justru wajah si buruk rupa yang jelek itu membuatku tergila-gila. Matahari bukan siapa-siapa.

dia bukan siapa-siapa. aku menegaskan kalimat itu dan mengulangnya dalam hati.

"kita makan sate klatak yuk" ucap Sarwono menatapku.

"disini memang terkenal sama sate klataknya tapi baksonya gak kalah enak juga kok" ucapku kemudian terdiam, seakan-akan aku baru saja meniru ucapan seseorang.

"oh iya? aku tahu tempatnya dimana, kemarin ada yang bilang tempat makan bakso yang enak, kita kesana?" tanya Sarwono membuka pintu mobil untukku.

"bo-boleh"

kali ini memikirkan tempat yang pernah kuknjungi saja sudah membuat jantungku ebrdegup dengan kencang.

"kenapa gak pakai  jam tangan yang aku kasih ke kamu Ra?" tanya Sarwono menatap jam tangan fossil biasa.

sebenarnya aku memiliki jam tangan yang dapat memberikan peringatan jika sewaktu-waktu aku terkena serangan jantung, atau jantungku berulah. tapi aku menolak memakainya.

aku ingin menyimpan rasa sakit tanpa perlu orang lain tahu.

aku ingin mengurus jantungku sendiri tanpa membaut ribut orang-orang sekitarku.

"aku bukan orang sakit Sarwono" ucapku pelan sambil memeluk buket mawar yang segar.

hanya diam sambil menatap jalanan disampingku. entah pilihanku tepat atau tidak, entah bersama Sarwono adalah hal yang membuatku bahagia atau tidak.

si buruk rupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang