Chapter V (Mbah Waluyo)

300 9 0
                                    

"Hey kamu jangan buang air kecil disitu" tiba tiba seorang lelaki tua, dengan wajah keriput menegur ku yang sedang enak enaknya buang air kecil dibelakang pohon sawit "Bisa kualat kamu" lanjutnya dengan nada mengancam "Ma maaf pak. Saya tidak sengaja" aku merasa bersalah sekali telah buang air kecil dihutan yang cukup luas ini, entah dari mana datangnya kakek tua itu, karena sedari tadi aku tidak berpapasan dengan seorang pun saat melewati hutan ini. "Sebaiknya kamu segera pergi dari sini sebelum ada yang membuatmu celaka!" kakek tua itu kembali mengancam dengan sorot matanya yang tajam. Tanpa menunggu dua kali perintah aku segera pamit dan melajukan mobil kantor ini melewati hutan sawit yang cukup luas ini, lama aku melajukan mobil ini, seharusnya aku menemui persimpangan dan ambil kiri untuk kembali ke kantor,tapi sampai satu jam perjalanan, aku masih belum menemui persimpangan jalan didepan, yang ku temui hanya jalanan lurus tanpa ada kehidupan yang ku temui.

Aku yang mulai aga panik , langsung mengambil HP untuk menghubungi Mas Nur atau Andy, siapa tau mereka bisa menjemputku, namun sial, disaat situasi seperti ini, HP ku ternyata lowbat, semalaman aku lupa mengecas HP karena aku pakai untuk Musik mengusir rasa takutku di ganggu wanita yang mungkin menghuni kamar mandi mess kami.

Aku terus melanjutkan perjalanan menembus hutan ini, dengan berharap menemukan satu atau dua orang untuk meminta bantuan, kulirik jam tanganku, hari mulai beranjak sore, jam menunjukan pukul 6, langit telah berubah dari gagahnya biru menjadi jingga dan bersiap bermetamorfosis menjadi gelap nya malam, aku semakin cemas karena belum ada tanda tanda kehidupan di hutan ini, setelah cukup lama aku mengendarai mobil ini, akhirnya aku menemukan sebuah gubuk di pinggir jalan, gubuk itu berjualan bensin dan beberapa makanan ringan, tanpa berfikir panjang, aku langsung menepikan kendaraan hanya untuk sekedar ngopi dan mungkin bertanya jalan pulang ke kota, mungkin aku tidak melihat persimpangan jalan sehingga aku harus tersesat dihutan sawit ini.

"Assalamualaikum" aku mencoba memanggil penghuni gubuk yang sedari tadi membelakangiku didalam sana, tanpa ada jawaban dari penghuni gubuk , ku lihat dia menghampiri ku, tak asing aku sepertinya pernah melihat kakek tua itu, tapi entah dimana, aku coba mengingat kakek tua itu, "Ah, kakek yang tadi menegurku di hutan Sawit!" batinku dalam hati. "Benar, saya Waluyo, orang orang biasanya memanggil saya Mbah Waluyo, saya yang menegur kamu tadi sore" seolah bisa membaca pikiran , mbah Waluyo mampu menebak dengan tepat, "Pasti kamu mau bertanaya kemana arah pulang? Kamu sedang diganggun penghuni kerajaan siluman, mata kamu dikaburkan dari dunia manusia, kamu belum melalui persimpangan jalan, kamu masih ditempat yang sama saat tadi bertemu dengan saya" mbah Waluyo melanjutkan bicaranya, sambil memberikan secangkir kopi panas ditangannya "minum ini, mungkin kamu lelah telah masuk ke dimensi yang lain" sambungnya, aku pun segera mengambil kopi panas dan mulai meminumnya "Terima kasih mbah, saya minta maaf sudah tidak sopan didaerah sini, saya sangat menyesal" timpalku dengan penuh penyesalan, setelah sekedar beristirahat, akhirnya aku mencoba melanjutkan perjalanan sesuai dengan instruksi Mbah Waluyo, dan benar saja, sepuluh menit berlalu , aku menemukan persimpangan jalan didepan sana, aku ambil kiri sesuai instruksinya, akhirnya aku menemukan jalan raya yang cukup ramai dengan mobil perkebunan yang lalu lalang, dan aku mendadak bingung dibuatknya, keluar dari hutan Sawit ini, langit kembali gagah dengan warna biru yang terik, aku mencoba mengucek mata dan kulihat jam tanganku, Masih jam 4 Sore, artinya aku baru 10 menit yang lalu dari tampat klien di kota tetangga, padahal sebelumnya aku telah kesasar hampir 4 jam lamanya, aku mulai bingung dan mencoba menepi di masjid tidak jauh dari persimpangan jalan itu.

Air yang segar segera membasuh muka ku, air wudhu ini benar benar segar, aku teringat belum menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim, dengan langkah gontai dan sedikit linglung aku masuk kedalam masjid dan menunaikan solat Ashar, selepas solat, aku tidak langsung melanjutkan perjalanan menuju Mess dan Kantorku, aku sengaja berdzikir mengagungkan dan mengingat tuhanku, mungkin beberapa bulan ini aku telah terlalu jauh meninggalkannya, tak terasa beberapa tetes air mata mengalir dari ujung mataku, aku terbawa suasana kekhusuan doaku kali ini,

"Assalamualaikum" pundaku tiba tiba ditepuk oleh seorang kakek yang cukup tua dengan sorban dikepalanya, "Waalaikumsalam" timpalku sambil menyalami kake tua itu, "Sepertinya sedang ada masalah ya nak? Atau sedang banyak yang dipikirkan?" kembali kake tua itu melanjutkan bicaranya, seolah tau ada sesuatu yang sedang mengganjal dipikiranku, "Tidak ke, saya hanya sedang merenung saja" aku berusaha berbohon menutupi kegelisahanku, karena aku tidak mungkin menceritakan pengalamanku akhir akhir ini kepada orang yang baru aku temui di masjid ini, untuk namanya saja aku belum tahu siapa, "Saya Musthafa, para Santri biasanya memanggil saya Kiyai Tapa" terangnya sambil mengelus ngelus janggut panjangnya yang mulai memutih, "Jika ada masalah, datang saja ke pesantren saya , ini alamatnya."sambungnya sambil memberikan secarik kertas berisi alamat yang aku bisa menebak tidak jauh dari sini, aku segera mengambil dan mengucapkan terima kasih dan bersiap untuk kembali ke kantor, "Jika ada waktu, mampir saja nak, sekedar bersilaturahmi" sambungnya menutup pembicaraan kami sore itu, setelah menyalaminya dan mengucapkan salam, aku segera meninggalkan Kiyai Tapa dan menuju ke Kantor mengembalikan mobil, dan bersiap siap untuk kembali pulang ke mess, aku merasa hari ini sangat melelahkan.

Hari hari terus berlanjut, suara suara tangisan masih terus hadir menemani malam malam kami, tanpa aku berbicara pada andi tentang suara suara itu, andi pun sudah tidak pernah bercerita mengenai suara tangisan itu, padahal aku yakin andi pun pasti mendengarnya setaip malam.

Hari itu hujan datang sehabis magrib, hujang terus turun sampai malam menjelang, karena angin yang cukup besar, membuat pohon mangga dibelakang kamar mas Nur dan Mba Sri roboh, mau tidak mau batang yang roboh itu menimpa kamar mereka.

"Tok tok tok, Andi, Arga" teriak mas Nur didepan kamar kami sambil mengetok pintu dengan tergesa gesa. "Iya Mas, sebentar" andy langsung membuka pintu dan mempersilahkan Mas Nur dan Mba Sri masuk ke kamar kami. "Dy, Ga, boleh ga malam ini saya sama istri saya menginap disini dulu, semalam ini saja, pohon dibelakan roboh menimpa kamar kami" terangnya, pantas saja tadi sehabis magrib terdengar suara gemuruh yang cukup keras, aku pikir itu suara petir, ternyata itu suara batang pohon mangga yang menimpa kamar Mas Nur, "Oh boleh mas, nanti mas sama mba di ranjang saya saja, biar saya tidur diranjang Arga" andi mempersilahkan keduanya menginap dikamar kami, aku pun tidak keberatan karena selama ini Mas Nur maupun Mba Sri memang selalu baik pada kami.

Setelah bercengkrama sambil menikmati kopi, aku beranikan diri bertanya pada Mas Nur dan Mba Sri, mungkin ini saat yang tepat untuk aku bertanya pada mereka, toh mereka juga sudah ku anggap keluarga sendiri.

"Mas, Aku mau bertanya sesuatu boleh? Tentang Mess kita ini, maksudku, tentang kamar mess aku dan Andy ini." Aku mulai beranikan bertanya pada mas Nur, Mas Nur yang sedari tadi bercanda dengan andy, langsung terdiam dan mulai menyalakan rokonya dan menghisapnya dalam dalam. "Kenapa kamu bertanya seperti itu? Apa kamu tidak kerasan tinggal disini?" Mas Nur malah balik bertanya padaku, sambil ku minum kopi yang mulai dingin, aku ceritakan beberapa kejadian yang ku alami akhir akhir ini, Mba Sri dan Mas Nur mendengarkan ceritaku dan Andy dengan sungguh sungguh, tak ada satupun kata yang keluar dari mulut mereka selama aku dan Andy bercerita, "Sebenarnya saya mohon maaf, tidak menceritakan ini pada kalian sebelumnya" Mas Nur mulai menimpali cerita kami, dengan wajah yang cukup serius, Mas Nur melanjutkan ceritanya "Dulu sebelum kalian menghuni kamar ini, kamar ini di isi sekertaris kantor, Nia namanya" mas nur memulai bercerita tentang asal usul kamar ini , mungkin nia juga hantu wanita yang selalu menangis dikamar mandi saat malam tiba, "Nia itu gadis yang baik, dia orangnya Sopan, mudah bergaul juga, dikantor dia juga disenangi karyawan lain, dia jadi kesayangan Bu Ayu, kemana saja Bu Ayu pergi, entah meeting atau sekedar jalan jalan, nia selalu di Ajak, tapi untuk kehidupan pribadinya, Nia sedikit tertutup, sampai sauata hari, terdengar Nia menangis sambil menelpon di kamar ini, Mba Sri sempat menghampiri dan bertanya pada Nia, tapi Nia bilang tidak ada apa apa dan menghapus air matanya sambil menutup telpon genggamnya" lanjut cerita mas nur , "Esok harinya, kami tidak melihat Nia keluar kamar, kamarnya masih tertutp rapat, hingga pukul 8 siang, Nia belum juga keluar kamar, karena tidak ada kabar, akhirnya Bu Ayu menyuruh saya untuk menjemput Nia, ditemani istri saya, saya langsung mengetok ngetok pintuk kamar Nia, tapi tidak ada jawaban dari dalam" Mas Nur terus melanjutkan ceritanya dengan antusias, "Lalu saya memanggil Pak Anda, satpam komplek untuk mendobrak kamar nia, saat pintu berhasil dibuka ..." mas andi menarik napas dalam dalam, disampingnya Mba Sri menggenggam tangan suaminya sangat erat sekali "saat berhasil dibuka kenapa mas?" aku mulai tidak sabar dengan kelanjutan cerita Mas Nur ..

Malam KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang