Chapter XIII (Tersadar)

239 8 0
                                    

"Berat sekali kepalaku" aku memegang kepalaku yang sedikit pusing, bayangan semalam benar benar membuatku tak sadarkan diri, aku benar-benar tak mengerti dengan semua itu,

"Semalaman mungkin aku tertidur disini, mimpi itu benar-benar seperti nyata" aku yakin semalam itu hanya mimpi, tapi kenapa aku sampai tidur di dapur? Bukan kah semalam aku tidur diruang tamu? Apakah ini benar-benar nyata? Berbagai pertanyaan muncul dipikiranku, aku tidak tahu harus bagaimana, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang.

Matahari pagi mulai masuk menerobos celah celah jendela rumah ibu, Pagi ini, aku berniat untuk kembali ke Kalimantan, tidak kuat rasanya untuk tetap tinggal di rumah ini, bayangan Bapak atau Ibu selalu hadir disetiap mimpiku.

"Mungkin lebih baik aku ke Kalimantan, aku butuh ketenangan, aku biarkan rumah ini kosong, atau mungkin Bi Tia bisa mengisi rumah ini" batinku lirih, mungkin dikalimamtan aku bisa sedikit melupakan kesedihanku, kesedihan setelah ditinggal oleh orang yang paling ku sayang.

"Assalamualikum Wa ..." aku bertamu ke rumah Wa Odah, dia adalah kakak kandung Bapak, dirumahnya yang tidak luas ini, dia menghabiskan masa tuanya bersama suaminya , dan adik satu-satunya yang tersisa, setelah kepergian Bapak, Bi Tia menjadi adik Wa Odah satu-satunya.

"Waalaikumsalam, Arga..." sambil membuka pintu, Wa Odah mempersilahkan aku masuk

"Ayo silahkan masuk, kamu yang sabar ya Nak" dengan wajahnya yang keriput, Wa Odah mempersilahkan aku masuk, dengan gontai, akupun memasuki gubuk tua yang terasa begitu hangat,

"Bi Tia ada Wa?" sambil duduk di sofa usang, aku bertanya keberadaan Bi Tia, mungkin dengan Bi Tia mengisi rumah Ibu, rumah itu tidak akan terbengkalai dan menakutkan,

"Ada, Bibi kamu lagi di dapur, ada apa to le?" sambil memanggil Bi Tia, Wa Odah menyodorkanku segelas air putih yang langsung ku minum dan meluncur ditenggorokanku,

"Saya mau ke Kalimantan lagi bi, Saya naik pesawat Malam, jadi siang ini saya ke bandara lagi" aku membuka percakapan sebelum masuk ke inti pembicaraanku dengan Bi Tia,

"Maksudnya, apakah Bi Tia tidak keberatan jika saya meminta Bi Tia tinggal di rumah Ibu sma Bapak? Biar rumah ada yang urus" aku melanjutkan bicaraku, dengan nada sedikit memohon, aku yakin Bi Tia mau tinggal di rumah Ibu , karena selama ini, sepenginggal suaminya, Bi Tia hanya mampu menumpang hidup di rumah Wa Odah, satu satunya rumah peninggalan almarhum Suaminya sudah disita oleh Bank beberapa tahun yang lalu.

"Kamu yakin mau ke Kalimantan secepat ini le?" hanya itu yang keluar dari mulut Bi Tia, tidak ada kata ya atau tidak atas pertanyaanku itu.

"Iya bi, siang ini Arga mau nyekar ke makam Bapak sama Ibu, sekalian pamit mau berangkat lagi ke Kalimantan" aku menimpali Bi Tia yang sedikit ragu dengan keputusanku,

"Jadi apakah Bi Tia mau?" aku kembali mengulang pertanyaanku, kali ini diikuti anggukan B Tia yang membuatku sedikit lega, ya aku lega karena rumah Bapak dan Ibu tidak akan kosong dan menjadi rumah yang menyeramkan.

Setelah berbasa basi dengan Wa Odah dan Bi Tia, akupun pamit untuk nyekar ke Makam Bapak dan Ibu, aku akan berpamitan untuk kembali ke Kalimantan malam nanti, karena jarak kota ini dengan Bandung kurang lebih 3 jam, aku harus sudah berangkat dari jam 3 sore, konyol jug ajika aku harus tertinggal oleh pesawat yang telah aku pesan melalui aplikasi online itu.

Tanah pekuburan dimanapun berada memang selalu menyeramkan, suasana begitu sepi saat aku mulai masuk ke pelataran peristirahatan terakhir itu, aku menatap lurus kedepan, setapak demi setapak ku langkahkan kakiku masuk kedalam, semakin dalam, suasana begitu sunyi, semakin gelap, semakin sepi, ku perhatikan sekitar, kiri kanan, di tanah yang cukup tinggi, aku melihat segunduk tanah yang masih terlihat agak basah, ku dekati gundukan tanah itu, tertulis nama dalam sebuah nisan kayu "Minah bt H. Ma'mun" disampingnya tertancap juga sebuah nisan yang sudah cukup lusuh "Hendra bin Burhan",

Malam KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang