Kaca

264 41 38
                                    

Ajaib, kata itulah yang sering kali nenekku ucapkan, di kala orang tuaku bekerja, nenek selalu menyuruhku untuk mendorong kursi rodanya, menuju gudang di belakang rumah.

Melewati kebun bunga yang sangat luas, aku masih ingat, nenekku yang sudah tak sanggup berjalan, rela merayap, menyeret tubuh gemuknya sejauh 25 meter.

Melewati semak berduri dan tanaman-tanaman gatal lainya, demi masuk ke gudang itu. "Lihatlah manisku !" seru nenekku girang saat mendapati sebuah cermin antik setinggi 2,5 meter, berbentuk oval dengan ukiran bunga tulip yang melingkarinya.

"Lihat manisku, di depan sana seorang pemuda terus memandangimu !" aku tak pernah mengerti apa yang selalu nenek ku bicarakan, terutama saat di depan cermin raksasa ini.

Ia selalu membicarakan seorang pemuda yang tampan nan rupawan memandangku penuh arti, sebuah mansion megah yang berdiri di sebelah rumah kami, seorang tua yang pandai bersiul juga burung pipit yang selalu hinggap di sisi ranjangnya setiap pagi.

"Nenek mengigau" ucapku di akhir ceritanya, selalu. "Tidak manisku. Nenek tak pernah mengigau" ucapnya lirih "semua terlihat jelas, sangat jelas dari cermin ini" sambungnya sambil mengusap cermin itu pelan, dan penuh hati-hati seakan cermin itu bisa pecah kapan saja.

Senyumnya mengembang, pipinya basah akan air mata, nenek selalu seperti ini jika di depan cermin raksasa ini, aku tak pernah tahu apa yang nenek ku lihat di cermin ini, dan 'mungkin' tak akan pernah tahu.

Aku sampai lupa, kapan pertama kali aku kesini dengan nenek. Jujur, aku agak risih dengan suasana gudang yang senyap, hawa dingin terkadang menggelitik sisi paranoid ku.

"Nona !" seru suara serak yang amat aku kenal, aku bergegas membawa nenek pulang, melewati seorang lelaki yang berdiri di depan gudang "manisku, siapa yang memanggilmu tadi ?" tanya nenekku saat kami berada di halaman belakang, nenekku memang pikun, kadang ia lupa pada beberapa orang pelayan. "Bareth" jawabku singkat.

----------

Yang ku tahu, Bareth adalah putera tunggal dari seorang petani bunga yang cukup terkenal, ia biasanya membantu ayahnya merawat bunga di sini sampai sore. Sebelum ia pulang,  ia akan memanggilku di gudang belakang, hanya sekedar memberi tahu kapan orang tuaku akan pulang.

Entah kenapa ayah dan ibuku selalu melarangku untuk ke gudang belakang.

Bicara soal Bareth, Bareth adalah pemuda yang misterius,  ia jarang bicara aku juga belum pernah melihat wajahnya, ia selalu mengebakan topi atau hoodie, menutupi kepala, dahi dan kedua bola matanya. Bagiku ia malah tampak mencurigakan.

"Nona." seru seseorang tiba-tiba " ya !" jawabku sepontan, aku menoleh perlahan, mendapati Bareth yang berdiri tegap dengan cucuran keringat yang amat banyak, apakah merawat bunga sangat melelahkan ?
"Ini..." ucapnya sambil menyerahkan pita merah muda yang terkesan cute  "milik anda" aku mengamati dengan cermat benda di tangan kanan Bareth, setelah yakin... "simpan saja, itu bukan milikku" ujarku agak ketus.

Bareth terdiam cukup lama, lalu ia bergegas   pergi. Kejadian seperti ini sudah sering terjadi sejak 3 bulan terakhir, be-berapa pelayan juga mendatangiku untuk memberikan barang yang bukan milikku, seperti bross, liontin, cincin, jepit rambut dan masih banyak lagi. Dan tahu kah kau...  Semua barang tersebut terbuat dari perak murni atau batu mulia, contohnya pita merah muda yang di bawa Bareth tadi, terbuat dari rajutan sutera halus.

"Kalau bukan milik anda... lalu milik siapa ?" aku terkesiap saat Bareth berhenti melangkah dan tiba-tiba bertanya "tak ada yang mengoleksi barang se-feminim ini selain anda. Di sini" sambungnya lagi dengan nada yang amat lirih di bagian akhirnya.

Ada jeda di antara kami, kami saling berhadapan di ruang tengah yang remang-remang, hanya di terangi oleh sinar ke jinggaan yang menerobos masuk melalui jendela yang amat besar.

"Aku tak suka di-interupsi" jawabku ketus, dan tak seharusnya pelayan tak meng-interupsi majikan, kami saling diam, di detik berikutnya Bareth menghela nafas lelah lalu berbalik menuju pintu utara di depan sana "suatu saat, anda akan menerima interupsi" ucapnya sambil menutup pintu bersamaan dengan kegelapan yang baru saja datang.

ANCAMAN atau PERINGATAN ?!

aku berjalan cepat menuju pintu utara, membukanya lebar-lebar dan mencari sosok Bareth yang sudah di telan malam.

"nona ?" aku menoleh ke kanan, ada Laras di sana, ia pelayan termuda di sisni "ada apa ?" tanyaku, lampu-lampu sudah di hidupkan, menampilkan sisi indah yang selalu menenangkanku.

"Anda sedang mencari siapa ?" tanyanya hati-hati "Bareth." jawabku malas, Laras malah terlihat bingung, jangan bilang...
"Jangan bilang kalau kau tak mengenal Bareth ?! ia selalu di sini sepanjang hari" aku hampir berteriak.

Laras maju untuk mempertipis jarak di antara kami berdua, dengan tanganya yang kurus, ai menggamit tangan kanan ku dan menangkupkan ke-dua tanganya aku bisa merasakan tanganya bergetar, takut ?

"Nona..." ucapnya hati-hati "tak ada yang bernama Bareth di antara kami"

Benarkah itu ?

Cermin ajaib [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang