berkabung (2)

42 12 6
                                    

Aku segera beranjak dari dudukku sambil mengenakan jaket yang berada di sandaran kursi " tunggu !", cegah tuan Marco dengan suara beratnya, mau tak mau aku berhenti dan berbalik padanya."Ingat kata-kataku nak, JANGAN TERLALU DALAM MELIHAT CERMIN". 

----------

Pagi ini aku mengayuh sepeda dengan lesu, hampir semalaman aku tak tidur, memikirkan apa yang dikatakan tuan Marco semalam entah sudah berapa kali aku menguap.

Setibanya di sana, aku memarkirkan sepedaku, Maari langsung menyambutku dengan raut wajah panik, serta deru nafasnya yang tak beraturan "ada apa ?", tanyaku penasaran.

" Barac !", Maari memegang pundaku erat sambil "cepatlah ke kamar nyonya Brigid !". Tanpa menunggu lagi aku langsung berlari ke kamar nyonya Brigid, sesuatu pasti telah terjadi, terlihat dari ekspresi panik Maari dan raut ketakutan Merie.

Aku sampai di depan pintu kamar yang terbuka, sudah banyak pelayan di sana, beberapa pelayan menoleh kepadaku.

Sharas ?!, aku melihat pundaknya yang naik turun, perlahan ia mendekat ke ranjang nyonya Brigid. Pelan, dengan tangannya yang sedikit gemetaran, Sharas menyingkap selimut nyonya Brigid yang penuh dengan darah.

Sharas memundurkan tubuhnya, ia sedikit limbung dan... hupKu tangkap bahu dan pinggangnya sebelum ia jatuh. Ia menoleh padaku " Ba-Bareth ?!", gumamnya yang hampir tak kudengar.

Aku terpaku saat mendapati nyonya Brigid tersenyum dalam pembaringannya, senyuman yang terlihat sangat damai. Tapi harus kutelan kembali kedamaian yang terlintas di pikiranku,

NYONYA BRIGID TEWAS !

ia terbaring kaku dengan pecahan-pecahan kaca yang menancap di bagian perut hingga dadanya, banyak sekali hingga hampir memenuhi tubuh gemuknya.

Sharas ! Aku baru teringat padanya, ia sudah pingsan dalam dekapanku, wajahnya pucat pasi, kusuruh pelayan memindahkan Sharas ke kamarnya.

"Sudah telfon polisi ?", tanyaku pada para pelayan " su-sudah tuan, kami juga sudah memanggil ambulan", jawab seorang pelayan, aku mengurut pelipisku sambil menjauh.

Setibanya di lantai bawah Mona memberiku ponsel, aku mngernyitkan dahiku saat melihat nomor yang terpampang di layar ponsel "dari kepolisian Midgaar, tuan", ujar Mona lirih.

Ku dekatkan ponsel perak itu ke telinga kiriku " halo", ucapku. Lalu terdengar suara seorang pria dan bising suara sirine yang bersahutan dengan suara teriakan beberapa orang,

"..."

Aku membulatkan mataku penuh, aku hampir tak bernafas karena kaget, banyak kejadian mengagetkan yang terjadi pagi ini.

"Maari", aku memanggil Maari yang kebetulan lewat dengan suara lemah " siapkan mobil, kita akan ke rumah sakit pusat di Midgaar".

----------

"Pasien atas nama Robert De liuiq !", ucapku setengah panik pada resepsionis, setelah mendapat arahan di mana kamarnya berada aku berjalan cepat di ikuti Maari.

" saudara Bareth ?", tanya seorang pria berpakaian dokter yang menghampiriku, aku mengangguk, "mari tuan sekalian, saya tunjukan tempatnya", dapat kulihat Maari terlihat bingung dan terkejut.

"Kami sudah berusaha sebisanya tuan, tuan De liuiq selamat dari masa kritis, tapi...maaf kami gagal menyelamatkan nyonya De liuiq", ucap dokter itu dengan nada lirih dan penuh penyesalan.

Kami berhenti di depan sebuah pintu tertutup. " sejak tiba di rumah sakit ini, tuan De liuiq terus meronta-ronta sambil memanggil anda tuan".

Dokter itu membawa kami masuk, aku mendekat ke bangkar tuan Robert berbaring, kondisinya parah sekali "Ba-Bareth ! Bareth !".

Segera ku genggam tanganya, sekedar memberi tahu bahwa aku bersamanya saat ini " SHARAS ! KAU JAGA SHARAS !". Jeritnya sambil mengeratkan genggamanya.

"JAUHKAN ! JAUHKAN !", jeritnya lagi dengan sekuat tenaga " CERM..N...  !". Ucapanya tak begitu jelas dan putus di tengah jalan, seiring dengan garis lurus yang ada di layar dan sura yang melengking panjang sebagai penutupnya.

----------

Aku duduk dengan lemah di depan ruangan bertuliskan 'UGD', seseorang berjaket hitam duduk di sampingku "anda pasti tuan Barac". Tebak pria tersebut, aku aku hanya mengangguk tanpa melepas pandang dari lantai yang terlihat sangat indah.

" perkenalkan", ucapnya lagi sambil menyodorkan tanganya, aku mendiamkanya agak lama lalu dengan malas kujabat tanganya "saya Harrish dari kepolisian Midgaar, dan sayalah yan berbincang dengan anda ditelfon tadi".

Aku menangguk lalu bangkit dari duduku saat melihat Maari datang " maaf tuan, saya pamit terlebih dahulu"

"Oh, anda tidak perlu minta maaf tuan, toh kita akan berjumpa lagi", aku hanya menanggapinya dengan anggukan kecil dan bergegas pergi, aku mengambil langkah lebar menyusul Maari yang ada di depanku.

KHE ! KHE ! KHE !

Deg ! Aku menghentikan langkahku, suara itu lagi !, aku menelan salivaku dengan susah payah. Aku menoleh ke sembarang tempat.

" tuan ?", Maari menepuk pundaku pelan, aku menggelengkan kepalaku mencoba mengusir suara yang menggangguku akhir-akhir ini "ayo !", ajaku sambil terus berjalan, sial ! Bisa-bisanya suara itu muncul di sini.

----------

Tiga korban, satu keluarga dalam satu hari, aku menghembuskan nafas kasar sambil bersandar di kursi dapur utama, hari masih siang suasana di rumah ini sudah sangat ramai.

Aku mendengus untuk kesekian kalinya " tuan", aku menoleh ke sumber suara seorang pelayan yang masih muda mendekatiku dengan ragu "be-begini tuan. Nona Sharas, ia membanting segala barang yang ada dan meraung-raung sambil menangis, tuan.".

" saya disuruh untuk memanggil anda, tuan", ucapnya sambil menunduk "siapa yang menyuruhmu ?".

" Maari, tuan", aku membuang nafas berat, untuk apa Maari menyuruhku ke sana ? Sharas bukan tanggung jawabku dan aku tak pernah ingin berurusan dengan gadis kaya yang menangis, pasti akan sangat merepotkan.

"Baik". Putusku sambil melangkah ke kamar Sharas, aku hanya kasian dengan keadaanya Sharas, pasti cukup berat baginya.

Cermin ajaib [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang