Bayangan

60 21 6
                                    

Laras menundukkan kepalanya, tanda ia banyak pikiran ".....", aku terhenyak saat Laras menggumamkan sebuah nama, ia hanya bergumam jadi aku tak yakin apakah Laras benar-benar menyebut nama itu, benarkah Laras menyebut nama...

BARETH ?

"Akhir-akhir ini anda lebih sering memperhatikan nona Sharas". Laras mengangkat dagunya seraya menatapku penuh arti, tidak ! bukan itu yang sedari tadi ia pikirkan.

"Para pelayan bilang, anda juga kerap mengamati nona Sharas sewaktu tidur dari depan jendela kamarnya". Aku terkejut mendengarnya, sangat terkejut.

"Sewaktu nona Sharas hilang, anda juga yang menemukanya. Apa anda memiliki perasaan khusus untuk nona Sharas ?".

Laras melancarkan beragam pertanyaan yang bagiku sangat tak masuk akal dengan penuh harap. Aku bingung harus bicara apa, mengamati Sharas sewaktu tidur ? Yang kulakukan hanya mengecek bunga Tulip merah yang secara khusus ditanam Ivan di depan kamar Sharas.

Dan lagi, Sharas hilang ? Memangnya mereka tak pernah mengecek gudang belakang ? " oh iya, belakangan ini Nona Sharas terlihat 'aneh' ", Laras menggigit jemari lentiknya saat mengucapkan kata terakhir itu.

" saya khawatir kalau nona... ". Ada jeda cukup lama, aku mengangkat alisku menunggu kalimat lanjutan Laras yang mungkin membuatku terkejut, tapi sampai detik ini Laras tak kunjung meneruskan kalimatnya, atau mungkin ia bingung bagaimana cara menyampaikannya.

" kenapa ?". Tanyaku, aku penasaran kenapa tiba-tiba Laras diam, pandanganya menerawang, ia menggigit bibir bawahnya. Aku menghembuskan nafas lelah, sepertinya Laras tak akan bersuara.

"Laras, boleh aku bertanya ?", tanyaku sambil membenarkan posisi dudukku, " silahkan tuan", sahutnya sambil menundukkan kepala mengamati ujung sepatu hitamnya.

"Ada apa di gudang belakang ?".

3 detik...

17 detik...

45 detik...

Dan seterusnya, Laras tak kunjung menjawab, sudah jelas ada yang ia tutupi di sini.  Aku bangkit dari dudukku dan menuju pintu belakang, tak ada gunanya menanyai Laras yang terus bungkam dari tadi.

" tak ada !", aku berhenti tanpa berpaling "tak ada apapun 'di sana' tuan", Laras menjawab dengan suara yang bergetar aku membalikan badanku, menatap lekat gadis berseragam pelayan yang berdiri tak jauh dariku, ia masih menundukkan kepalanya.

Ekor mataku tak sengaja menangkap nyonya Brigid bersama dengan Mona, mau kemana mereka ? Ku urungkan niatku untuk pulang cepat kali ini. Aku bertanya-tanya, setiap kali bertemu dengan nyonya Brigid, ia punya ekspresi datar dan tatapan kosong nan dalam, seperti sebuah trauma.

Entah apapun yang pernah terjadi padanya, aku semakin ingin tahu " Laras, bolehkah aku berkeliling rumah ini ?. Laras mengangkat dagu lancipnya "te-tentu tuan", jawabnya terbata seraya memaksa bibirnya untuk tersenyum padaku.

Aku mengikuti Mona yang membawa nyonya Birigid dari belakang. Mereka menapaki tangga utama yang berada di ruang tengah. Naik ke lantai dua, aku berhenti di ujung tangga teratas memperhatikan punggung Mona yang memapah nyonya Brigid semakin jauh ke ujung lorong dan berhenti di depan sebuah pintu cokelat tua.

Aku bersiul, rumah bangsawan memang beda, dari ukuran yang terbilang sangat luas. Dan tentu saja, membersihkanya membutuhkan tenaga yang ekstra,

yah... Mereka punya cukup pelayan dan dayang untuk melakukanya.

Aku bergegas menuruni anak tangga satu-persatu, tinggal tiga anak tangga lagi sampai ke ruang tengah yang berseberangan dengan sofa. Ku hentikan tiga langkah itu untuk nanti saat aku menyadari sesuatu yang janggal bagiku.

Bukankah nyonya Brigid selalu pakai... KURSI RODA ?

ku mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahku, mungkin nyonya Brigid menjalani terapi, aku ingin berfikir seperti itu setidaknya. Aku kembali menapaki tiga anak tangga terakhir itu dan berjalan santai melewati sofa yang membelakangiku.

Ku hentikan langkahku, aku menoleh ke arah sofa perlahan, menampilkan sosok yang familiar untuku. Sha-Sharas ?! Pekiku dalam hati, ku amati lagi sosok yang meringkuk di sofa dengan cermat.

Ia terlihat lekah, wajahnya putih bersih juga... Bajunya agak melorot dan menampilkan sebagian dadanya yang tak terlalu besar, terlihat halus dan...

Sial !

Aku menggeleng-gelengkan kepala, mencoba mengusir pemikiran yang sebenarnya sejalan denganku. Aku segera melangkah pergi, harusnya seperti itu yang terjadi, tapi tiba-tiba tangan Sharas menahan tangan kiriku, panas.

Aku menoleh, Sharas masih memejamkan matanya, ia mungkin tak sadar, dari suhu tubuhnya yang tinggi aku jadi tak tega meninggalkanya. Entah apa yang kufikirkan, aku membipong Sharas menuju kamarnya yang tak jauh dari ruang utama .

Mungkin cuma halusinasiku saja, aku merasa seseorang terus memperhatikanku sewaktu masuk ke kamar Sharas,

KHE ! KHE ! KHE !

Tubuhku tiba-tiba membeku saat mendengar sebuah suara, entah itu suara tawa atau apa, seolah suara itu ada di belakangku, aku menoleh secara reflek, tak ada siapapun.

"Tuan Barac ?!". Seru Merie terkejut " Merie, cepat kemari !", Merie datang tergopoh-gopoh "astaga ! Tuan, tubuh nona Sharas panas sekal... ... ... ". Aku tak lagi bisa mendengar apa yang Merie bicarakan.

Mataku tak bisa lepas dari cermin rias raksas milik Sharas yang memantulkan bayanganku, seisi kamar, juga Merie yang sedang panik. Ada yang aneh, sangat aneh ! apa ini, Sharas tak punya...

BAYANGAN ?!

Cermin ajaib [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang