/Em•pat/ - bag.2

15.4K 622 17
                                    


Mobil sedan hitam itu kini sudah terparkir rapi di halaman rumah yang familiar bagi keduanya.

"Makasih, Kak." ucapnya sambil melepas genggaman Aksa, diikuti suara klik yang menyatakan lepasnya seatbelt dengan pengunci di sisi kursi.

Asha keluar dari mobil, menyempatkan diri untuk kembali memposisikan tas di bahunya. Langkah majunya seakan tertarik kembali ketika ia mendongak dan mendapati Aksa sudah di hadapannya. "Mau ngapain?"

"Saya nganter kamu pulang terlambat, seenggaknya biar saya pamit sama Mama kamu."

"Tap—" Aksa yang sudah tau jika penolakan akan spontan dilayangkan, membuatnya berinisiatif langsung menuntun gadis itu memasuki rumahnya.

"Selamat sore," sapa Aksa kepada satu-satunya tuan rumah yang kebetulan tengah berada di teras. Sepertinya khawatir dengan keadaan putrinya.

Yang disapa mengernyitkan dahinya, menyuratkan usahanya menebak siapa yang kini menggandeng anak gadisnya. "Hm ... Angkasa ya?"

"Iya, Tante."

Melihat sambutan hangat ibunya, sedikit menenangkannya. Setidaknya kali ini ia tak akan kenal omelan setelah membuat ibunya khawatir karena lagi-lagi pulang telat.

Asha yang menyadari arah pandang ibunya, spontan menarik tangannya dari genggaman Aksa. "Ya—yaudah, udah kan Kak?"

Mendengar ucapan Asha, membuat cowok itu malah sengaja menanggapi. "Kamu minta saya pulang?"

"Eh—" Asha terbelalak. Tanggapan sengaja itu jelas-jelas bukan niatan pamit, melainkan pancingan agar ibunya membiarkan Aksa untuk berkunjung.

"Hush, kamu nggak boleh gitu, Sha. Mari masuk dulu, Angkasa."

Asha dengan sengaja menarik tangan Aksa, menunggu hingga ibunya memasuki rumah lebih dulu. Sebelum akhirnya melemparkan tatapan tajam yang sudah ia asah agar lebih tajam pada sosok guru menyebalkan di sampingnya.

"Kenapa? Kamu udah kangen digandeng saya?"

"Ish! Kak Aksa nyebelin! Tau ah!" Asha menyentak tangan Aksa kesal dan meninggalkan cowok itu dibelakangnya.

Sedangkan Aksa hanya terkekeh kecil melihat sikap kekanakan gadisnya.
Ia memasuki rumah dan langsung dipersilahkan untuk duduk di ruang tamu, sedangkan Asha sudah meninggalkannya ke kamar.

"Terakhir kata Asha kamu fokus ujian sampai nggak pernah ngabarin lagi. Kuliah semester berapa sekarang?" tanya Trisha —Mama Asha lembut. Yang sebenarnya menyentil hati kecil Angkasa.

Bohong jika dulu ia menjadikan ujian sebagai alasan menjauhnya. Ia bahkan tidak meninggalkan pesan sebelum benar-benar pergi. Dengan seenaknya pun kini ia kembali, memaksa gadisnya agar memberinya kesempatan kedua.

"Engh ... saya sekarang lanjut strata 2 semester 2, Tan."

Trisha mengangguk mengerti. "Cepet banget ya, padahal umur kamu nggak beda jauh sama Asha."

"Iya, empat tahun. Saya rasa Asha juga bisa lulus cumlaude nanti, Tan. Sejak SMP Asha selalu aktif."

"Semoga saja Tante bisa terus dampingi Asha sampai dia lulus."

"Tante jangan ngomong gitu dong, Tan. Saya yakin Tante akan bisa lihat Asha sukses nanti."

Derap langkah kaki mengalihkan perhatian dua insan yang tengah mengobrol santai. Menyadari putrinya yang sengaja berlama-lama menuruni tangga membuat Trisha kembali membuka mulutnya.

"Iya, kamu juga harus dapat restu Tante dulu ya." canda Trisha yang menerbitkan senyum di bibir Aksa walaupun ia juga tau niat Trisha hanya menggoda anaknya. Hanya saja, ia menganggap itu lebih dari sekadar candaan.

"Restu apaan coba, Ma?!"

"Heh, kamu datang-datang ketus. Makan dulu gih, sama Angkasa." perintah Mama nya yang mengundang decakan Asha.

"Asha tadi udah makan." jawabnya dengan maksud menolak perintah untuk kembali berlama-lama bersama cowok itu. Bukannya tidak mau, munafik jika ia bilang tak rindu setelah tiga tahun menunggu. Hanya saja ia kasihan dengan keadaan jantungnya yang gemar berlarian tiap kelakuan kecil dari seorang Angkasa.

"Kapan?" Dua suara bersatu dalam satu pertanyaan yang dengan jelas menyatakan tanda tanya atas penuturan gadis itu.

"Tadi, makan bekel dari Mama."

Trisha menghela napas. Tidak habis pikir dengan sikap putrinya yang terlalu memikirkannya. "Mama kan udah bilang, kamu kalau mau jajan, ya jajan aja. Sisanya baru ditabung, Sha. Jangan pelit begitu."

Asha menangkap lengan Mamanya yang mengelus lembut pahanya. Ia yang duduk di sandaran tangan sofa sebelah Mama nya, memilih terkekeh mengalihkan pembicaraan. "Jajanan di sekolah tuh penuh minyak dan belum terjamin kebersihannya. Jadi nanti kalau Asha gendut gimana? Kalau Asha sakit gimana? Kan Asha bukan anak IPA yang bisa neliti virus-virus gitu, masa Asha harus nyusun pidato buat abang-abang jualannya untuk menjaga kebersihan barang jualan. Nanti Asha nggak didengerin."
Celoteh panjangnya, sengaja agar ibunya melupakan soal uang jajan.

"Kamu mah bisa aja bikin alasan. Udah gih, makan dulu."

"Asha aja Tan, saya udah makan kok."
"Bener? Udah, nggak apa-apa," tawar Trisha lagi. Sedangkan tatapan berharap tanpa sadar malah dilemparkan Asha.

"Nggak usah, Tan."

Trisha hanya mengangguk mengerti. "Oh iya, kalian kok bisa bareng? Kapan ketemu nya?"

"Saya KKN di sekolah Asha, Tan."
Mendengar itu Asha berdecih. Sedikit kecewa karena penuturan itu menyatakan dengan jelas bahwa Aksa hanya akan membimbingnya beberapa bulan kedepan. "Ish, mana ada sekolah yang nerima mahasiswa tiga puluh tahun." sindir Asha mengundang kekehan Aksa.

"Loh, bukannya Angkasa baru 22?"

"Iya, Tan—"

"Enggak, Ma. Sekarang Kak Aksa umurnya 40 tahun. Nanti malem 45 tahun." ucap Asha asal sambil memberi tatapan mencibir yang malah melengkungkan bibir.

"Saya nggak mau menua kalau nggak sama kamu."

Asha spontan bergidik mendengar penuturan Aksa yang terbilang berani.
Seharusnya dia mengantisipasi sikap Aksa sejak awal yang sudah jelas-jelas nekat mengantarnya sampai rumah.

Asha setia menatap manik Aksa. Membuat yang ditatap memberi tanda tanya, karena kali ini tatapan itu pasti dikarenakan suatu hal.
"Kenapa?"

"Bilang bercanda sih, Kak."

"Kalau saya serius?"

"Saya nggak mau." balasnya tegas dan kembali ditegaskan dengan melipat tangan di dada.

"Hush, nggak boleh begitu." Asha hanya melepas lipatan tangannya pasrah setelah Mama nya menegur.

"Saya bikin kamu mau," sahut Aksa yang kali ini ditanggapi kekehan Trisha.

Melihat itu Asha berdecak kesal. Kenapa Mama nya berpihak pada Aksa dan tidak padanya. Disini yang sebenarnya anaknya itu siapa?
"Sayanya tetep nggak—"

"Sudah-sudah. Kamu ada PR nggak? Siapa tau Angkasa bisa bantuin."

"Boleh."

"Nggak ada PR. Nggak ada tugas, ulangan, resume, atau lainnya. Abis ini Asha langsung tidur." jawab gadis itu cepat. Meminta bantuan guru mata pelajaran itu langsung memang ide yang cukup bagus, namun mengingat orang itu adalah Angkasa Virgo Zeromme berarti kebalikannya.

"Hmm ... udah malam juga, Tan. Saya pamit aja."

"Gara-gara Asha ya?"

Yang disebut namanya mengelak tak terima. Sedangkan yang ditanya hanya terkekeh kecil menanggapinya. "Enggak kok, Tan."

Setelahnya hanya Trisha yang mengantarkan laki-laki itu keluar, dan Asha yang memilih berpura-pura tak peduli dengan langsung berlari menuju kamarnya.

Memang pura-pura. Ia bahkan masih memaksa berjinjit untuk melihat Aksa lewat jendela. Entah beruntung atau sial, yang ditangkap netra nya saat itu bukanlah mobil yang berlalu. Namun malah seorang yang menarik senyum, dan mengarahkan mata padanya. Spontan usahanya meninggikan penglihatan, diimbangi kecepatan kilat upaya tak terlihat.

Bad Teacher Great HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang