"Pokoknya Ayah harus istirahat dulu di rumah, seenggaknya sampai minggu depan baru boleh ke kampus lagi." tegas Syila pada sang ayah saat menyetir mobilnya melaju keluar area parkir rumah sakit. Akhirnya, setelah dirawat kurang lebih dua hari di rumah sakit, siang itu Ayah Syila diperbolehkan pulang oleh dokter.
"Tapi ada beberapa mahasiswa yang harus melakukan bimbingan skripsi sama Ayah, Syil. Kasian loh mereka yang mau ngejar jadwal sidang skripsi bulan depan." sahut ayahnya mencoba menawar.
"Yaaahh.. Please deh, sekali ini dengerin Syila ya." bujuk Syila tepat di saat kakinya menginjak pedal rem ketika lampu lalu lintas di hadapannya menyala merah. Dengan wajah yang memelas, ia menoleh ke arah pria yang masih tampak pucat di sampingnya. Keduanya terdiam cukup lama hingga lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Syila menginjak pedal gas perlahan dan kembali fokus pada jalanan di depannya.
"Ya sudah, Ayah bakal istirahat di rumah sampai akhir minggu ini, tapi nanti ada beberapa mahasiswa yang akan Ayah minta untuk datang ke rumah menyerahkan revisi mereka. Deal?" kata pria itu akhirnya.
Syila hanya bisa berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, "Ayah jadi dosen baiknya kebangetan sih! Coba aja dulu Syila dapet dosen pembimbing kayak Ayah." cetusnya sambil tetap fokus menyetir.
Ayah Syila tertawa lebar mendengar ucapan putrinya itu, "Ayah baik sama orang lain supaya kamu juga selalu mendapat perlakuan yang sama dari semua orang yang kamu temui." pungkasnya sambil tersenyum. Senyum dan kata-kata yang meneduhkan hati Syila. Gadis itu hanya mampu mendesah. Seperti mengingatkan dirinya sendiri, apapun yang ayahnya lakukan akan selalu ada Syila yang menjadi alasannya.
***
Tepat pukul sepuluh pagi motor matic Syila mendarat di area parkir Exquisito. Lebih lama dua jam dari biasanya. Setelah cuti mendadak selama dua hari saat ayahnya sakit, hari ini Syila kembali bekerja walaupun datang agak terlambat karena terlebih dahulu memastikan semua keperluan ayahnya sudah siap di rumah.
Semerbak aroma biji kopi arabica menyeruak saat langkah kaki Syila memasuki pintu depan kafenya. Bunyi decit pintu kaca terdengar, membuat pria berkacamata yang tengah mengunci portafilter ke kepala mesin espresso itu pun menoleh.
"Syil!" serunya saat melihat gadis berkemeja longgar motif kotak-kotak warna merah bata itu berjalan sedikit tergesa-gesa ke arahnya. Kancing kemejanya yang dibiarkan terbuka semua memperlihatkan t-shirt hitam polos di dalamnya. Rambut lurusnya yang panjang diikat asal-asalan, membuat anak-anak rambut yang menjuntai di sekitar wajahnya mengayun seirama dengan langkah kakinya yang cepat.
"Sorry gue lama. Pagi-pagi udah kedatangan bocah-bocah kampus di rumah." Syila berkata seraya menarik kursi tinggi di depan meja bar lalu duduk di sana.
"Ayah lo masih nerima bimbingan di rumah?" tanya Ge tergelak sambil meletakkan sesendok biji kopi ke atas timbangan. Ekor matanya menangkap bayangan Syila yang tengah mengetik sesuatu di ponselnya.
"Lo tau kan Ayah gimana. Tapi ya udahlah ya, mau gimana lagi, daripada Ayah yang harus ke kampus. Yang penting kondisinya juga udah lebih baik dan para mahasiswa itu dapat syarat tambahan dari gue." cerocos Syila seraya meletakkan ponselnya di atas meja bar.
"Syarat apaan?" tanya Ge dengan alis yang berkerut heran, penasaran.
"Gue suruh mereka nempelin flyer promosi kita di kampus." Syila terkekeh geli mendengar ucapannya sendiri. Sementara Ge hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Eh soal pemotretan kemarin gimana, Ge? Udah fix?" tanya Syila saat teringat janji mereka dengan dua orang fotografer minggu lalu.
"Oh iya, gue lupa bilang sama lo. Kemarin fotografer yang namanya Rinan itu telepon gue. Dia minta maaf karena ternyata ada jadwal pemotretan di tempat lain yang bentrok. Janjinya sih weekend besok reschedulenya. Tapi detail konsep yang kita sepakatin kemarin udah dikirim kok ke email gue kalau lo mau baca. Gue forward ya." jelas Ge seraya mengambil ponselnya dan mengirimkan sebuah email pada Syila.
"Okelah kalau gitu. Gue ke belakang dulu." balas Syila lantas beranjak melangkahkan kakinya ke arah dapur Exquisito.
"Pagi Mba Syila. Gimana kabar ayahnya, Mba?" sapa Damai yang pada hari itu mendapat giliran shift pagi, saat melihat Syila muncul dari balik pintu.
"Alhamdulillah, udah baikan kok, Mai. Makasih ya." jawab Syila dengan senyum ramah sambil meletakkan mini backpack kesayangannya ke dalam locker. Sejurus kemudian ia pun beralih ke sebuah lemari penyimpanan dan mengecek bahan-bahan baku yang tersimpan di sana.
"Stock opname bahan-bahan kita udah di input semua, Mai?" tanya Syila dengan matanya masih menyapu ke seluruh isi lemari.
"Udah, Mba. Harusnya sih hari ini orderan bahan tambahan udah datang. Nanti saya telepon lagi deh Mba, buat mastiin ke supplier."
"Ya udah besok aja sekalian saya cek sama nota pembelian dari Mas Ge."
"Oiya, Mba, kemarin pagi ada yang ke sini nyariin Mba Syila." celetuk Damai ringan sambil menyusun barisan puff pastry, kue dengan tumpukan lapisan tipis yang renyah dan gurih, ke atas nampan untuk ditempatkan di display.
Syila mengerutkan dahinya, mencoba menerka siapa orang yang dimaksud oleh Damai. "Siapa, Mai?" tanyanya saat tak berhasil menemukan jawabannya sendiri.
"Cowok Mba. Badannya tinggi, cakep, hehehe. Lupa deh namanya siapa. Kata Kak Wiwin sih fotografer yang mau foto promosi itu loh, Mba. Kemarin Kak Wiwin sih yang ketemu orangnya di depan." sahut Damai dengan ekspresi wajahnya yang lucu. Anak ini memang yang paling kecil di antara yang lain. Usianya baru 19 tahun dan saat ini pun statusnya masih seorang mahasiswa perantauan dari Kalimantan. Di Exquisito dia bekerja part time untuk mencari uang tambahan.
"Loh kenapa nggak ketemu Mas Ge aja?" tanya Syila heran.
"Kebetulan waktu itu Mas Ge belum datang, Mba. Pagi-pagi banget sih datangnya. Kak Ben aja baru buka rolling door depan pas orangnya tau-tau muncul nyariin Mba Syila. Bilangnya juga nyari Mba Syila kok, nggak nyebut nama Mas Ge. Akhirnya sama Kak Wiwin dikasi kartu nama yang ada nama Mba Syila sama Mas Ge itu." sahut Damai sambil mengangkat nampannya yang sudah penuh dengan puff pastry. "Ke depan dulu ya, Mba." pamitnya seraya berjalan meninggalkan dapur menuju lemari display di depan.
Rinan? Nyariin gue? Ah, tapi kan kemarin dia udah nelpon Ge. Berarti memang karena urusan foto. Kenapa juga gue jadi geer. Batin Syila berusaha menepis tanda tanya dalam pikirannya. Tapi sosok lelaki jangkung berkulit kecoklatan itu malah mampir dalam bayang matanya. Ia pun buru-buru melangkah keluar dapur demi mengalihkan pemikirannya yang absurd. Jomblo juga gak harus gini-gini amat! cetusnya dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Coffee Cake [COMPLETED]
RomanceArsyila Mayza Harun, si pecinta cake manis ini selalu dirundung kegalauan setiap kali sang ayah bertanya 'kapan nikah?'. Alih-alih segera mencari pasangan ia malah makin sibuk berkutat mencari cara membesarkan nama EXQUISITO, sebuah coffee shop and...