Geraldi tak habis-habis merutuki dirinya sendiri. Setelah insiden marah-marahnya kepada Syila kemarin sore, gadis itu nyaris tak menyapanya sama sekali. Bahkan hingga pagi ini, saat Syila sampai di Exquisito, gadis itu langsung saja ngeloyor masuk ke pantry tanpa basa-basi seperti yang biasa mereka lakukan. Padahal saat itu, jelas-jelas mereka berpapasan di dekat pintu pantry. Jangankan menyapa, menoleh pun tidak. Sikap Syila itu makin membuat Ge tidak nyaman. Sejujurnya lelaki berkacamata itu sudah tidak betah berlama-lama berada di situasi perang dingin seperti ini dengan Syila.
"Syil, gue minta maaf," ucap Ge saat Syila sedang menggiling adonan croissant dengan rolling pin di pantry. Gadis itu hanya berdehem di balik masker yang ia kenakan, tanpa menoleh. Ia masih asyik dengan aktivitasnya menggiling lalu melipat-lipat adonan pastry tersebut.
Merasa tak ditanggapi, Ge pun bergerak lebih dekat ke arah Syila. Dengan gerakan tak terduga ia lalu menggelitik sebelah telinga gadis itu dan dengan cepat bergerak menjauh.
"Ge, apaan, sih?" teriak Syila dengan wajah merengut kesal. Ia langsung menggosok-gosok telinganya yang spontan terasa geli dan gatal dengan bagian dalam lengannya. Maklum kedua telapak tangannya masih berlumur campuran adonan kue. Semburat warna merah kemudian menjalar di telinga Syila. Ge yakin wajah gadis itu pun pasti ikut memerah hanya saja tertutupi oleh masker yang ia kenakan.
Syila memicingkan matanya pada Ge dengan tatapan jengkel. Tangan kanannya mengangkat rolling pin seperti seorang security yang siap menghabisi seorang maling dengan pentungan. Seandainya saat ini mereka sedang tidak berada di dapur Exquisito mungkin saja Syila sudah menyerang balik. Lelaki berkulit putih itu sudah hafal betul dengan salah satu titik kelemahan Syila yang paling tidak bisa kalau telinganya dipegang apalagi sampai digelitik. Bulu romanya pasti langsung merinding disko.
"Ya abis dari kemaren lo dieeeemm aja. Gue dicuekin mulu. Kalau gini kan lumayan lo jadi mau ngobrol sama gue," jawab Ge dengan cengar-cengirnya.
"Nggak lucu tau!" kata Syila ketus. Yang dimarahi malah semakin cengar-cengir.
"Ayolah, Syil, udahan marahnya. Cape ni gue," ucap Ge sedikit memelas. Ia kemudian kembali berdiri di dekat Syila.
"Lo cape kenapa? Gue nggak nyuruh lo lari keliling lapangan kan?"
Ge tersenyum. Tersenyum karena kalimat Syila mengingatkannya pada momen hukuman keliling lapangan yang pernah diterimanya saat OSPEK. Namun sejujurnya senyum itu justru terbit karena menyadari Syila sudah berbicara dengan kalimat yang lebih panjang. Meskipun dengan nada menyindir dan wajah yang datar.
"Syil, I am deeply sorry. Gue salah besar. Gue tau nggak seharusnya gue ngomong kayak gitu ke lo kemaren. Gue bener-bener minta maaf."
Syila menghela napasnya. Ia lalu bergerak meletakkan adonannya yang telah selesai diolah untuk didiamkan di dalam lemari pendingin. Kemudian gadis itu beranjak menuju wastafel untuk mencuci tangan lalu membuka masker yang tadi menutupi wajahnya seraya menghampiri Ge yang masih berdiri di dekat meja stainless tempat Syila mengerjakan adonannya tadi.
"Jujur gue kaget banget denger omongan lo kemaren sore. Awalnya gue nggak terima, gue kesel, Ge. Tapi ya udahlah, gue tau sebenernya lo pasti nggak bermaksud begitu. Gue cuma heran aja kenapa lo bisa sampai sebegitu marahnya sama gue dan mengeluarkan kata-kata kayak gitu."
Ge menelan salivanya. "Gue.. cuma khawatir, Syil, sama lo. Gue nggak mau lo sakit, gue nggak mau lo kenapa-kenapa, makanya gue jadi marah," tutur Ge dengan suara sedikit lirih.
Syila hanya tersenyum kecil mendengar kata-kata Ge. Ia yakin sebenarnya ada sesuatu yang disembunyikan Ge dalam kalimatnya. Namun, gadis itu tak ingin membahasnya lebih jauh.
"It's okay. Gue baik-baik aja kok. Thanks ya, Ge, lo udah care. You're such a good brother for me. Kita baikan. Gue juga nggak betah ah diem-dieman terus," ucap Syila lalu mengarahkan jari kelingkingnya pada Ge.
Ge berusaha tersenyum sambil menautkan jarinya di jari Syila. Dalam hati lelaki itu ada luka teriris saat Syila mengatakan bahwa ia hanya sebatas good brother for her.
***
Syila memainkan ponselnya. Gadis itu sedang menimbang-nimbang apakah ia harus menghubungi Rinan duluan atau tidak. Sudah beberapa hari sejak pertemuan terakhir mereka di sore hari yang hujan itu, Rinan sama sekali tidak pernah menghubunginya. Sejujurnya Syila khawatir apa mungkin Rinan sakit karena ia nekat pulang hujan-hujanan waktu itu. Namun menghubungi lelaki duluan sepertinya bukan hal yang biasa ia lakukan kecuali untuk sesuatu yang penting. Khawatir dengan keadaan seseorang apakah sudah cukup menjadi alasan yang penting? batin Syila.
Syila meremas ponselnya kuat sebelum akhirnya membuka aplikasi pesan whatsapp dan melihat bahwa Rinan saat itu sedang online. Dengan sedikit ragu ia kemudian mengetikkan sebuah pesan.
Hai, apa kabar? Are you okay?
Syila lalu segera mengirimkan pesan tersebut sebelum ia malah berubah pikiran. Semenit berlalu namun belum ada balasan apapun dari Rinan. Berulang kali ia bolak-balik membuka dan menutup aplikasi pesan di ponselnya itu. Dua menit, tiga menit hingga lima menit tanpa jawaban membuat Syila mulai sedikit gelisah. Ia masih memandangi chat roomnya dengan Rinan yang menampilkan pesannya yang belum juga centang biru. Sekarang status online lelaki tersebut sudah tidak lagi terlihat membuat Syila bertanya-tanya. Ah, mungkin dia lagi sibuk, pikir Syila. Gadis itu lalu mematikan layar ponselnya dan bergerak melanjutkan pekerjaannya di dapur.
***
Rinan mematikan ponselnya sesaat setelah sebuah pesan muncul di notification bar. Lelaki itu lalu merebahkan tubuhnya pada sandaran kursi seraya memejamkan kedua matanya. Masih terngiang di telinganya kata-kata Amanda tempo hari. Sherin masih hidup. Sherin kekasihnya masih hidup. Bagaimana mungkin selama ini ia dibohongi dengan kenyataan palsu bahwa Sherin sudah meninggal tanpa pernah tahu dimana makamnya. Rinan mendengkus kesal menyesali kebodohannya yang saat itu tidak bisa mencari tahu keberadaan Sherin. Ia malah menelan bulat-bulat kabar kepergian Sherin meskipun hati kecilnya tidak pernah bisa menerima hal tersebut.
Amanda yang saat itu menjadi satu-satunya harapan Rinan untuk mengetahui informasi tentang Sherin pun memilih untuk menjauh. Ia bahkan memblok semua akses komunikasi mereka. Ketidakberdayaan Rinan saat itu menjadi penghalang besar baginya untuk bergerak. Mau tidak mau ia harus menerima kenyataan palsu itu. Bertahun-tahun ia menyimpan kepedihan dan kekecewaan yang dalam karena kehilangan Sherin hingga akhirnya lelaki itu berhasil bangkit dan melupakan tragedi tersebut. Ia berusaha untuk lebih fokus pada mimpi dan karirnya hingga berhasil menjadikannya seperti sekarang.
Namun kini, di saat luka di hatinya yang sudah terjahit rapi itu perlahan ia coba untuk sirami dengan cinta yang baru, luka itu justru kembali menganga dan mengalirkan kepedihan yang lebih hebat. Sejujurnya ia tidak pernah berniat mempermainkan Arsyila. Bagi Rinan, Arsyila adalah sosok wanita yang luar biasa. Ia dan mimpi-mimpinya, kerja kerasnya dan segala kebaikan hatinya. Hanya dengan melihat sorot matanya, Rinan tahu Syila adalah wanita baik-baik yang tidak pantas untuk dipermainkan. Namun takdir seperti sengaja mengobrak-abrik hatinya. Menjadikannya patah berulang kali. Saat ini lelaki itu hanya ingin memperbaiki suasana hatinya. Karena itulah, bagi Rinan menjauhi Syila mungkin adalah cara yang paling tepat agar gadis itu tidak terlanjur sakit hati karenanya. Bayang wajah Sherin dan Syila kini bergelayut silih berganti di pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Coffee Cake [COMPLETED]
RomanceArsyila Mayza Harun, si pecinta cake manis ini selalu dirundung kegalauan setiap kali sang ayah bertanya 'kapan nikah?'. Alih-alih segera mencari pasangan ia malah makin sibuk berkutat mencari cara membesarkan nama EXQUISITO, sebuah coffee shop and...