SEBELAS

5.7K 565 6
                                    

"Woy.. bengong lo?"

Rinan yang kaget dengan kedatangan Dimas yang tiba-tiba di sampingnya, refleks mematikan kamera DSLR yang sedari tadi dipegangnya.

"Set.. dah. Dimatiin. Moto apaan lo, nyet? Curiga gue." kata Dimas sambil menarik kursi di depan Rinan lalu duduk. Tangannya mulai membuka bungkusan sate taichan yang tadi dibawanya. Aroma daging panggang perlahan menyeruak ke seisi ruang makan sekaligus dapur berukuran 2x2 meter itu.

"Kepo." sahut Rinan singkat seraya mencomot satu tusuk sate taichan dari bungkusan Dimas yang sudah terbuka.

"Woy sate gue, nyet!" teriak Dimas protes.

"Model udah lo pastiin kan buat Sabtu besok? Nggak enak gue kalo sampe batal lagi." kata Rinan seolah tak memperdulikan teriakan Dimas. Ia malah asyik mengunyah potongan sate di mulutnya.

"Udah, lo tenang aja. Kali ini gue pastiin aman." sahut Dimas sambil bergerak ke arah dispenser air dan mengisi segelas air putih lalu kembali lagi ke kursinya tadi dan melanjutkan sesi makan sate taichan. "Ge bilang biar Syila aja yang jadi modelnya." sambungnya lagi dengan mulut penuh daging sate.

Rinan tertegun sesaat mendengar perkataan Dimas.

"Eh dari jam berapa lo di basecamp? Bukannya lo moto di acaranya Bobby?" tanya Dimas tanpa melepaskan pandangan matanya dari tusuk-tusuk sate taichan yang masih tersisa. Bulir keringat mulai membasahi rambutnya, mulutnya menahan hawa panas dan pedas.

Basecamp yang dimaksud Dimas adalah tempat dimana mereka berada saat itu. Sebuah rumah sederhana di salah satu komplek perumahan yang sudah disulap menjadi basecamp sekaligus studio foto oleh Rinan dan Dimas. Selain mereka, ada pula 2 orang fotografer lagi yaitu Farul dan Bani yang biasa nongkrong di situ. Kadang ada proyek yang mereka kerjakan bersama, kadang pula mereka jalan sendiri-sendiri. Yang pasti basecamp ini sudah seperti rumah kedua bagi mereka lengkap dengan segala macam perabotannya.

"Ni juga gue baru pulang dari sana." jawab Rinan sambil mengambil lagi satu tusuk sate taichan milik Dimas yang tersisa.

"Mampus pedes banget gilak!" umpat Dimas akhirnya saat lidahnya tak mampu lagi menahan pedasnya sate taichan. Ia lalu mengemas sisa bungkusan sate dan membuangnya ke tempat sampah lalu beranjak lagi menuju dispenser untuk mengisi gelasnya yang sudah kosong. Dengan cepat ia meneguk air di dalamnya sampai habis. Rinan terkekeh melihat wajah Dimas yang memerah.

"Gue ke atas dulu deh, masih ada editan." Setelah rasa pedasnya mereda, Dimas bergegas ke lantai dua yang biasa mereka jadikan ruang kerja dalam proses editing foto, setelah sebelumnya menyeduh secangkir kopi pahit yang ia yakini bakal ampuh melenyapkan rasa pedas di lidahnya.

Tak lama setelah itu, Rinan menyalakan lagi kameranya. Ia kembali memperhatikan sebuah foto yang tadi sempat membuatnya refleks mematikan kamera saat Dimas datang. Foto seorang gadis berambut lurus yang sedang asyik menyantap cenil. Rinan tersenyum kecil melihatnya.

"Bakal jadi model gue nih."

***

Syila menghempaskan tubuhnya ke salah satu sofa dengan sebuah meja panjang di depannya. Pandangannya lurus menatap barisan lampu oranye yang tergantung di langit-langit meja bar kafenya, tapi pikiran gadis itu melayang entah ke mana.

"Teh panasnya, Nona." tegur Ge membuyarkan lamunan Syila. Secangkir teh panas dengan asap yang mengepul kini sudah ada di hadapannya.

"Thanks." jawab Syila singkat bersamaan dengan gerak tubuh Ge yang kini sudah duduk menatap heran pada gadis itu.

"Lo kenapa sih?" tanya Ge melihat Syila yang masih terduduk malas. "Masih mikirin Ibu yang tadi?"

Syila menggeleng, "Nggak." sahutnya dengan tangan yang bergerak mengelap jejak-jejak tetesan air wudhu yang membekas di anak rambutnya selepas shalat maghrib tadi.

"Wah kesambet nih!" seru Ge sambil terkekeh membuat Syila mendelikkan matanya sebal.

"Gue laper, Ge." jawab Syila akhirnya.

"Elah, laper doank muka lo pake galau gitu, biasa juga langsung ribut pesen ojol. Ya udah lo mau apa sini gue beliin." tawar Ge yang seperti biasa tanpa diminta, membuat Syila melengkungkan senyum, memamerkan deretan gigi putihnya.

"Martabak mozzarella Bang Jujun enak juga nih." jawab Syila menyebutkan salah satu jajanan yang ada di sekitar Exquisito, martabak telur dengan lelehan keju mozzarella yang terkenal gurih dan nikmat.

"Oke. Ada lagi, Non?" Syila menggeleng membuat Ge langsung beranjak keluar kafe menuju kios Martabak Bang Jujun yang ada di perempatan jalan.

Tak berapa lama setelah Ge pergi, lonceng pintu kafe kembali berbunyi diiringi munculnya sosok seorang wanita dengan seragam kantoran berwarna biru tua. Amanda yang baru pulang kerja berjalan masuk sambil melepas tali helmnya. Rambutnya yang panjang terurai tampak berombak bekas cepolan berjam-jam yang biasa dilakukannya.

"Duh, dingin banget." kata Amanda sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya untuk menghangatkan diri setelah sebelumnya duduk tepat di samping Syila.

"Tumben lo jam segini udah pulang?" tanya Syila seraya menyodorkan cangkir teh panas yang tadi belum sempat diminumnya ke hadapan Amanda. "Minum gih, biar anget."

Amanda menghirup teh tersebut perlahan. Sensasi hangat mulai menjalar ke tubuhnya, membuatnya sedikit nyaman. "Pacar gue mana ya?" katanya sambil celingak-celinguk mencari sosok Ge yang tak ada di belakang meja bar.

"Bentar ya pacar lo lagi ngerjain tugas mulia. Beli martabak Bang Jujun." kata Syila lantas tertawa.

Tak lama sosok yang dibicarakan itu pun kembali dengan dua bungkus martabak di kedua tangannya. Punggungnya mendorong pintu kaca depan hingga lonceng berbunyi.

"Nih! Nona-nona silahkan disantap martabak mozzarellanya." Ge meletakkan sebungkus martabak di atas meja lalu membawa sebungkus lagi ke dapur untuk para karyawan lain yang tentu saja disambut dengan girang oleh mereka. Setelah itu ia kembali duduk bersama Syila dan Amanda.

"Nda, lo bisa kali jadi model buat promosi kita." Syila berkata santai sambil mengunyah martabak dengan lelehan keju kental yang menjuntai.

"Hah?" Hampir saja Amanda tersedak saat mendengar perkataan Syila. "Duh Syil, permintaan lo aneh-aneh aja sih. Kalau lo minta cariin cowok gue siap." katanya sambil melanjutkan melahap martabak.

"Kok aneh sih. Kakak lo kan model, ya seenggaknya lo bisa donk pose-pose gitu niruin kakak lo. Iya nggak sih, Ge?" lempar Syila pada Ge yang hanya ditanggapi lelaki berkacamata itu dengan mengangkat bahu.

"Emang dari fotografer lo nggak nawarin model gitu?" tanya Amanda.

"Ya ada. Tapi kalau lo mau kan bisa jadi lebih hemat." Syila tergelak melihat wajah Amanda yang saat itu langsung melengos lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ya kalau gitu lo aja yang jadi modelnya!" cetus Amanda.

"Aduh gue mana bisa gaya-gayaan gitu. Postur gue nggak mendukung." jawab Syila cepat.

"Emang kapan sih jadwalnya?" tanya Amanda penasaran.

"Nah, kalau lo nanya berarti lo mau, ya kan?" sahut Syila dengan wajah sumringah.

"Elah, gue nanya doank kali."

"Sabtu besok."

"Gue lembur."

"Bentar doank kok."

"Nggak."

"Apaan sih lo bedua?" sela Ge tiba-tiba menengahi dua perempuan yang tak henti bersahut-sahutan itu.

"Lagian ya, Syil, tadi siang gue udah bilang sama Dimas biar lo aja yang jadi modelnya." jelas Ge santai.

"Hah? Kok tanpa persetujuan gue sih?" protes Syila.

"Ya abis mau cepet tadi. Hehe." jawab Ge nyengir. "Udaaah.. paling juga yang difoto tangan lo doank." sambungnya lagi sambil terkekeh membuat Amanda ikut tertawa-tawa mendengarnya. Sementara Syila hanya bisa mengerucutkan bibirnya kesal tanpa bisa berbuat apa-apa.

Bittersweet Coffee Cake [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang