"Syil?"
Syila hanya melirik pemilik suara itu dengan malas lalu kembali menelungkupkan kepala dalam lipatan tangannya di atas meja.
"Lo kenapa? Sakit?" tanya Ge—si pemilik suara itu khawatir. Lelaki itu bergerak mendekati Syila sambil menaruh punggung tangannya di atas kening Syila. Nggak panas, batin Ge.
"Lo apaan sih. Gue baik-baik aja kok," jawab Syila sambil menjauhkan tangan Ge dari keningnya.
"Ya abis lo lemes gitu," sahut Ge lalu duduk di depan Syila. Dengan malas gadis itu bergerak mengangkat kepalanya dan mulai meregangkan tubuh.
"Gue cuman ngantuk," ucap Syila lantas menguap. Menyebut kata 'ngantuk' seperti menjadi alarm tubuhnya untuk segera memberi pasokan oksigen dalam darah.
"Tidur jam berapa sih semalem? Begadang?" tanya Ge.
"Mmm.. jam 2 deh kayaknya," jawab Syila santai.
Ge menggeleng-gelengkan kepalanya heran. "Jangan kebiasaan deh, Syil. Kalau keseringan nanti lo bisa sakit," ucap Ge menasehati. Wajah lelaki itu terlihat khawatir.
"Nggak kebiasaan kok, baru tadi malem doank. Gue nggak bisa tidur, Ge," ucap Syila membela diri.
"Emang mikirin apa sih?" tanya Ge menelisik.
"Ngg.."
Dahi lelaki itu berkerut menunggu kata-kata dari Syila yang tak kunjung keluar.
"Eh, Ge, menurut lo, Rinan itu gimana?" tanya Syila akhirnya.
Air muka Geraldi Dimitri berubah demi mendengar nama Rinan disebut oleh perempuan di hadapannya ini.
"Jadi dia yang bikin lo kepikiran dan nggak bisa tidur?" kata lelaki itu datar. Ada gurat kekesalan yang terpancar dari wajahnya.
"Ya nggak juga," ucap Syila berkelit. "Gue tuh nanya lo Gege, kok lo malah balik nanya sih."
Ge menatap Syila dalam. "Lo suka sama dia, Syil?" tanya lelaki itu lirih.
"Ng... gaakk sih, ya tapi… Gue nggak tau ya, Ge," ucap Syila menggantung. "Jujur gue kepikiran sama kata-kata cewek lo. Manda bilang mungkin udah saatnya gue membuka hati, membuka diri. And Rinan.. He's kinda nice guy. Dia menyenangkan. Makanya gue pengen tau pendapat lo gimana."
Ge menghela napas dalam-dalam. "It's all up to you. Gue cuma nggak mau kalau itu cuman perasaan sesaat lo aja dan akhirnya malah ganggu kerjaan kita," ucap Ge sedikit keras.
"Maksud lo?" tanya Syila dengan dahi berlipat. Rasa ngantuknya mendadak hilang mendengar kalimat Ge barusan.
"Lo nggak lupa kan, Syil, mimpi kita buat tempat ini? Buat Exquisito? Jangan sampe keganggu sama perasaan lo yang gak jelas itu. Apalagi sama laki-laki itu." Ge sengaja mengucapkan kalimat terakhirnya dengan tekanan.
"Wait. Jadi menurut lo selama ini gue udah mengabaikan Exquisito? Menurut lo gue nggak ngapa-ngapain gitu?" ucap Syila sedikit emosi. Ia sungguh merasa tersinggung kerja kerasnya tidak diakui oleh sahabatnya sendiri.
"Lo pikir sendiri aja deh." Ge pun berlalu setelah mengucapkan kalimat tersebut. Meninggalkan Syila yang masih bergeming tak percaya Ge—sahabatnya bisa bersikap dan berkata seperti tadi.
***
Amanda Kejora berjalan dengan riang saat keluar dari kantornya. Hari ini ia bersyukur sekali bisa menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dari biasanya sehingga bisa pulang lebih awal. Sebagai customer service sebuah bank pemerintah, seringkali ia harus pulang larut malam karena load pekerjaan yang seperti tidak ada habisnya. Kadang ia merasa lelah dan bosan karena harus menjalani rutinitas harian yang sama. Namun, apapun itu Amanda tetap berusaha untuk bersyukur.
Amanda membuka aplikasi ojek online di ponselnya untuk mengecek posisi driver yang sudah ia pesan beberapa menit lalu lewat peta aplikasi tersebut. Seperti biasa ia akan mampir dulu ke Exquisito menemui Geraldi—kekasihnya.
Gadis itu menghentikan langkahnya di pos security dan berbicara pada petugas di sana sambil menunggu pengemudi ojol menjemputnya.
Tiba-tiba sebuah suara mengalihkan perhatian gadis bertubuh semampai itu.
"Manda!" seru seseorang membuat gadis itu sontak menoleh. Amanda terhenyak sesaat mendapati wajah si pemilik suara tersebut. Seorang lelaki jangkung dengan hoodie hitam dan celana jeans biru berjalan mendekat ke arahnya.
"Rinan," gumam gadis itu nyaris tak terdengar. Keterkejutan kentara terlihat dari ekspresi wajahnya.
"Gue pengen ngomong, bisa?" tanya Rinan to the point.
Security kantor Amanda yang melihat gelagat aneh rekan kerjanya itu lantas mendekati kedua orang tersebut. Tentunya sebagai petugas keamanan ia juga harus menjaga keselamatan karyawan kantor dari hal-hal yang berbahaya, bertemu orang asing misalnya.
"Bisa dibantu, Mas?" tanya security berbadan tegap itu dengan sopan.
"Eh, ini temen saya kok Pak Jon," kata Amanda cepat. Ia tak ingin membuat keributan di kantornya. Jangan sampai besok pagi ia menjadi bahan gosip di kantor. Security bernama Pak Jon tersebut kemudian mengangguk mengerti lalu beranjak menjauh.
Gadis itu lalu segera mengarahkan Rinan untuk sedikit menjauhi pos security tadi. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Amanda melirik sekilas ponselnya. Sebuah panggilan suara dari nomor tidak dikenal.
"Neng, saya udah di depan bank Sentra Nasional nih," suara seorang lelaki di ujung telpon. Hampir saja Amanda lupa dengan ojek online yang dipesannya tadi.
"Pak, saya nggak jadi minta anter ya. Bapak jalan aja, tadi saya udah bayar pake dana di aplikasinya kan?" jawab Amanda kepada si pengemudi ojol yang menghubunginya. Ia pun menutup sambungannya setelah pengemudi tersebut menyetujui permintaannya.
"Apa kabar?" tanya Amanda canggung.
"Nggak sebaik sebelum gue ketemu lo," jawab Rinan membuat Amanda tertawa kecil.
"Sherin," kata Rinan menggantung. Lidahnya kelu saat menyebut nama itu. Nama yang selama ini susah payah berusaha untuk ia lupakan. Namun kini berkelebat lagi dalam benaknya sejak pertemuannya dengan Amanda. Ada sesak yang terasa di dada lelaki itu.
"Dimana Sherin, Man? Apa benar Sherin udah.. meninggal?" tanya lelaki itu setelah berhasil menguasai dirinya. Suaranya bergetar saat mengucapkan kata terakhirnya.
Amanda menghela napas panjang. Ia menatap sosok lelaki di hadapannya itu lekat-lekat. Tidak banyak perubahan dari penampilannya. Ia masih persis sama seperti saat enam tahun yang lalu, untuk pertama kalinya, Sherin memperkenalkan Rinan sebagai pacarnya pada Amanda—adiknya. Memori Amanda berputar pada kenangan lama bersama kakak kesayangannya itu. Sherin yang saat itu masih kuliah semester empat mencoba menjalani profesi sebagai seorang model. Tubuhnya yang tinggi semampai dengan wajah yang cantik menjadi modal awal bagi dirinya untuk menekuni profesi tersebut. Ia kemudian jatuh cinta pada Rinan—fotografer yang sering sekali bekerja sama dengannya. Mereka akhirnya resmi berpacaran. Sherin terlihat sangat bahagia. Amanda dapat melihat jelas kebahagiaan itu dari pancaran wajah Sherin dan cerita-ceritanya tentang Rinan saat itu. Kedua kakak beradik itu memang sangat dekat. Tak heran hampir di setiap kencan Sherin dan Rinan, Amanda selalu ada.
"Kak Sherin.. She's still alive, Nan," ucap Amanda tertahan. Ia rasa sudah waktunya Rinan mengetahui keadaan yang sesungguhnya.
Perkataan Amanda yang cukup singkat itu membuat Rinan tak dapat menahan perasaannya. Tubuhnya terasa sedikit limbung. Bertahun-tahun ia mempertanyakan keberadaan Sherin Novilia, gadis yang dulu teramat sangat ia cintai. Ketika sebuah kejadian buruk di masa lalu memaksa mereka untuk berpisah, sejak itu Rinan tak pernah lagi mengetahui keberadaan Sherin. Rindu yang tertancap dalam hatinya sempat membuat Rinan terpuruk. Ia pernah menjalani hari-hari kelabu karena kehilangan Sherin. Keadaan memaksanya untuk meyakini kalau Sherin sudah tiada. Tapi hati kecilnya selalu mengingkari. Ia percaya Sherin masih ada dan sekarang keyakinannya itu terbukti.
"Jadi, Sherin di mana, Man?"
***
Hhmm.. pada penasaran nggak sih kira-kira apa ya yang terjadi sama Rinan dan Sherin di masa lalu?
Apa Rinan masih ngarepin Sherin? Terus Syila gimana donk?? 😭😭😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Coffee Cake [COMPLETED]
Roman d'amourArsyila Mayza Harun, si pecinta cake manis ini selalu dirundung kegalauan setiap kali sang ayah bertanya 'kapan nikah?'. Alih-alih segera mencari pasangan ia malah makin sibuk berkutat mencari cara membesarkan nama EXQUISITO, sebuah coffee shop and...