Hembusan asap dari tembakau yang dibakar mengepul ke udara, lalu perlahan menghilang begitu saja. Hanya sesaat sebelum si empunya kembali menghisap barang jahat tersebut dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya lagi ke udara. Rinan menatap asap rokoknya dengan nanar. Lelaki itu sebenarnya bukanlah seorang perokok. Tapi saat ini hatinya sedang kalut dan ia butuh pelarian. Walaupun ia tahu betul merokok tentunya bukan cara yang bijak untuk menyelesaikan masalah, justru bisa saja malah membawa masalah.
Rinan memijit-mijit pelipisnya dengan sebelah tangan. Kepalanya terasa sedikit berdenyut saat mengingat kembali pertemuannya dengan Amanda tadi sore. Ia membiarkan tubuhnya bersandar pada kusen jendela di ruang kerjanya, memandangi pendar-pendar lampu kota yang memantul di kaca jendela bangunan di hadapannya. Hujan yang mengguyur kota sepanjang sore tadi menyisakan semilir angin dingin yang menerpa wajah lelaki itu.
Suara pintu yang terbuka perlahan membuat Rinan menggerakkan kepalanya sedikit. Terlihat sosok Dimas muncul dari balik pintu. Lelaki itu menatap Rinan heran, ada pemandangan tak biasa di matanya.
"Lo kenapa?" tanya Dimas hati-hati. Bertahun-tahun bersama, ia tahu betul sahabatnya itu hanya akan merokok jika sedang ada masalah.
"Nothing," jawab Rinan pelan dan singkat, lalu kembali melamun. Jemarinya memutar-mutar batang tembakau hingga abunya beterbangan keluar jendela.
"Bro, nggak usah sungkan kalau ada masalah. I know you're not ok." Dimas melangkah masuk, meletakkan backpacknya ke sisi bawah meja lalu duduk di sofabed. Lelaki itu menatap Rinan yang masih bergeming. Cukup lama kedua sahabat itu hanya terdiam membisu.
"Gue ketemu Manda, Dim," ucap Rinan lirih. Mata kelamnya nampak sayu saat berbicara.
Dimas menghela napas panjang. Ia tampak sedikit terkejut mendengar ucapan Rinan tadi. "Ketemu di mana?"
"Di tempatnya Syila. Dia pacarnya Ge," jawab Rinan sambil mematikan rokoknya yang tinggal setengah. Ia lalu mengusap wajah dengan kedua tangannya lalu menggerakkan sedikit tubuhnya menghadap Dimas.
"Lo ngobrol?" tanya Dimas lagi. Rinan menggeleng lalu tertawa kecil.
"Gue takut, Dim. Gue nggak yakin gue siap untuk denger kabarnya." Rinan lalu menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Come on, Bro! It's been years, sudah waktunya lo lupain kejadian di masa lalu itu. Lo pernah bilang ke gue kalau lo udah ikhlas, lo udah rela," ucap Dimas dengan nada yang sedikit meninggi. Ia hanya tidak ingin sahabatnya itu kembali berduka seperti dulu.
"Gue bohong, Dim. Gue belum sepenuhnya ikhlas. Dan sekarang terbukti." Rinan berkata dengan suara parau. Ia melemparkan pandangannya ke luar jendela, menatap langit yang seirama dengan suasana hatinya.
"Ck!" Dimas berdecak. Ia mengetuk-ngetukkan buku-buku jarinya ke sisi bawah sofa hingga berbunyi nyaring. Lelaki itu lalu bergerak mendekati Rinan.
"Lo nggak bisa balik ke masa lalu, Nan. Hidup lo udah melangkah jauh dari sana. Udah banyak hal yang lo raih selama ini. Jangan sampai hancur gara-gara sikap lo yang kayak gini." Dimas menepuk pelan bahu Rinan.
Rinan bergeming. Kata-kata Dimas memang benar. Tapi untuk saat ini lelaki itu hanya ingin menyepi. Ia sungguh tidak bisa mengatur pikiran dan hatinya untuk tidak lagi berjalan meniti memori masa lalunya. Mereka terputar dalam benaknya tanpa diminta.
***
"Manda! Lo kenapa sih tadi?" Syila menepuk pelan lengan Amanda. Gadis itu masih penasaran dengan sikap Rinan dan Amanda tadi sore. Ia merasa ada sesuatu yang aneh antara mereka berdua. Apalagi setelah itu Rinan mendadak pamit pulang di saat hujan masih turun dengan derasnya.
"Kenapa gimana?" Amanda malah balik bertanya. Sebelah tangannya meraih cangkir teh hangatnya lalu menyeruput minuman tersebut dengan perlahan.
"Itu tadi sore pas ada Rinan, kok lo bedua kayak aneh gitu sih?"
Amanda menggeleng. "Aneh gimana sih? Nggak ada apa-apa kok, Syil. Perasaan lo aja kali ah," jawab gadis berambut panjang itu seraya membolak-balik halaman majalah di hadapannya. Hanya membolak-balik tanpa terlihat tertarik untuk membacanya.
"Kamu kayaknya udah kenal Rinan ya sayang?" Kali ini Ge yang bersuara. Alis mata lelaki itu saling bertautan. Mungkin Ge juga mencurigai sesuatu pada kekasihnya, pikir Syila. Namun sepertinya Manda tidak mungkin macam-macam. Syila buru-buru mengabaikan pikiran buruknya.
"Nggak kok, aku nggak kenal sama dia," jawab Amanda dengan suara tertahan. Ia menoleh ke arah Ge sesaat, sebelum akhirnya kembali pada lembaran-lembaran berwarna-warni itu.
Syila mengerucutkan bibirnya. Sejujurnya ia tak puas dengan jawaban Manda. Namun Syila juga tak ingin menduga-duga sesuatu yang tidak ia ketahui dengan pasti. Mungkin mood Amanda sedang tidak baik karena ada masalah di kantor. Atau mungkin juga kata-kata Amanda tadi benar, kalau itu hanya perasaan Syila saja yang berlebihan. Akhirnya gadis itu memutuskan untuk tak bertanya lagi dan tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Jadi itu pria yang berhasil merebut hati lo?" Kali ini justru Amanda yang bertanya pada Syila, membuyarkan lamunan gadis itu. Amanda menutup majalah yang sedari tadi ia pegang lalu menaruhnya ke sisi dalam meja bar. Saat itu Ge sedang memeriksa kiriman bahan mentah di gudang bersama Iwan. Ada kesalahan hitung stok dari supplier katanya.
Syila menoleh ke arah Amanda lalu menggeleng. "I dont know exactly. Gue cuma ngerasa nyaman dan nyambung aja sih ngobrol sama dia. That's it, no more," jawab Syila ragu. Ia sendiri tidak yakin dengan jawabannya.
"Nggak usah bohong!" seru Manda sambil tertawa. "I can see it in your eyes." Mata gadis itu mengerling menggoda Syila. Bibirnya mengulum senyum.
"Liat apaa?" tanya Syila dengan mata menyipit.
"Love is in the air," kata Amanda lalu terbahak. Beberapa pengunjung menoleh saat mendengar tawa Amanda. Cantik-cantik kok gitu? Mungkin begitu pikir mereka.
Syila memutar bola matanya malas. "Kebanyakan nonton drakor lo," cecar gadis itu lalu mencebik. Suaranya sedikit berbisik karena tak mau jadi pusat perhatian para pengunjung di kafenya.
"Kayaknya dia juga suka deh sama lo." Amanda mulai memilin-milin rambut Syila. "Good luck then," lanjutnya lagi lalu mengedipkan sebelah matanya.
"Halah ngaco lo, sok tau!" bantah Syila sambil menepis tangan Amanda di rambutnya. Kedua tangannya kini bersedekap di dada dengan netra yang masih tetap mengawasi suasana di kafenya malam itu.
"Gue rasa udah saatnya lo membuka diri, Syil. Mewujudkan keinginan Ayah lo untuk ngeliat putri semata wayangnya duduk di pelaminan," kata Amanda seraya memundurkan tubuhnya menempel pada sandaran kursi. Ia lalu bersenandung mengikuti lagu slow yang terdengar dari central speaker yang diputar Iwan lewat sambungan ponselnya, menciptakan suasana cozy di dalam ruangan dengan banyak ornamen kayu tersebut.
Syila hanya mendengkus dan menggelengkan kepalanya mendengar perkataan Amanda. Ia sudah hafal betul dengan tingkah polah kekasih sahabatnya ini. Amanda yang ceplas ceplos dengan gaya bicaranya yang sedikit cepat. Tak peduli siapapun yang jadi lawan bicaranya. Karena itulah Syila merasa sedikit heran dengan sikap aneh Amanda tadi sore saat bertemu dengan Rinan.
"Menurut kamu gimana sayang, kita restuin nggak nih Syila sama si fotografer itu?" tanya Amanda dengan senyum sumringah pada Ge yang sudah kembali dari gudang.
"Hm." Ge berdehem tanpa menoleh. Tangannya masih sibuk menulis-nulis sesuatu di catatannya.
"Sayang ih, masa gitu doank?" Kata Amanda kecewa dengan respon kekasihnya.
"Iya, terserah Syila aja," ujar Ge seraya menarik sudut bibirnya, memberikan senyum meski terpaksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Coffee Cake [COMPLETED]
RomanceArsyila Mayza Harun, si pecinta cake manis ini selalu dirundung kegalauan setiap kali sang ayah bertanya 'kapan nikah?'. Alih-alih segera mencari pasangan ia malah makin sibuk berkutat mencari cara membesarkan nama EXQUISITO, sebuah coffee shop and...