6. Hampir Saja

392 66 55
                                    

Happy reading :)
.
.
.
.




Berita kematian Jikyung telah tersebar di seluruh penjuru kampus. Berbagai ucapan bela sungkawa telah dilakukan baik itu melalui upacara bersama yang diadakan di aula SNU hingga mengunjungi kediaman keluarga korban. Hanya saja, ada satu hal yang masih mengganjal.

Bukan karena pelaku pembunuhan Jikyung yang belum terungkap, melainkan bagaimana respon orang-orang disekitar Jikyung tentang kematiannya. Maksudnya adalah, tidak ada yang benar-benar peduli dengan mendiang Jikyung. Mereka semua mungkin tampak mengikuti segala macam prosedur yang memang sudah seharusnya dilakukan jika ada seseorang yang meninggal, tapi... hati mereka...

Yang Jina lihat, mereka tertawa, bahkan berfoto bersama pada saat upacara. Seolah-olah mereka tengah melakukan upacara kemerdekaan, bukan untuk mengenang teman mereka yang baru saja meninggal.



Jina menghela napas, menatap semangkuk ramen yang rupanya tidak menggugah selera makannya. Gadis itu hanya mengaduk-aduk ramennya yang semakin tembam. Saat ini ia tengah berada dikantin, bersama Se Jeong yang sepertinya kesal melihat tingkah Jina yang aneh.

"Sini biar ku makan saja, daripada kau buang." Se Jeong menarik mangkuk ramen Jina dengan kasar, membuat gadis itu tersadar dari lamunannya.

"Oh, kau mau? Padahal sudah menjijikkan." Jina bergidik menatap ramennya yang sudah lejek.

"Tetap saja ini makanan, lagipula kau kenapa? Tubuh sekurus itu tidak perlu berdiet!"

Lagi-lagi Jina menghela napas, entah untuk yang keberapa kalinya. Gadis itu bersandar pada kursinya, menatap Se Jeong yang masih semangat menggiling makanan ke perutnya.

"Aku hanya heran, kenapa tidak ada yang benar-benar peduli dengan kematian seseorang?" Gumam Jina.

"Kau tahu, sejujurnya, Kak Jikyung memang menyebalkan," aku Se Jeong.

"Yak!" Jina membanting garpunya di meja, Se Jeong sontak berjengit. "Kau tega sekali, Jeong. Sama seperti mereka!"

"Mwo? Aku memang kasihan dengan Kak Jikyung, tapi dia juga menyebalkan! Apalagi kau, jika aku menjadi kau, aku mungkin akan merasa lega karena dia sudah tidak ada."

"Se Jeong-a!"

"Jina, sudah lah. Semua sudah berlalu, untuk apa kau menyesalinya? Kau terlalu baik padanya bahkan saat dia secara terang-terangan ingin merebut Jaehyun darimu!"

Jina menunduk, menggigit bibir bawahnya. Ia memang masih menyesal, seandainya saja Jina tahu bahwa suara angin yang ia dengar melalui telepon itu adalah sebuah pertanda buruk, mungkin Jikyung tidak akan terbunuh malam itu.

"Dia menjadi relawan panti asuhan hanya karena ingin terus bertemu dengan Jaehyun. Sudah jelas sekali jika dia ingin merebut Jaehyun darimu, bahkan dia juga menirumu, membaca novel yang kau baca, padahal seumur hidupku menjadi adik kelasnya di SMA dia tidak pernah membaca satu buku pun!"

"Dan kau, dengan bodohnya justru menelpon Jikyung memberi kabar tentang keberadaan Jaehyun. Kini kebaikanmu itu justru membuatmu menjadi sial, sampai-sampai kau dituduh terlibat dalam kematian Jikyung!" Lanjut Se Jeong dengan berapi-api. Ia gemas dengan Jina yang terlalu baik dan polos.

"Ah sudah lah, ocehanmu membuat kepalaku semakin pusing!" Jina beranjak dari duduknya dan berlalu meninggalkan Se Jeong.

"Yak! Aku yang pusing melihatmu seperti itu!" Seru Se Jeong yang menatap punggung Jina menjauh.

Mungkin ada benarnya perkataan Se Jeong, Jikyung saat itu benar-benar menyebalkan. Tapi bukan berarti mereka harus mengabaikan Jikyung kan? Bagaimana bisa seseorang masih memikirkan keburukan orang lain disaat orang itu sudah menemui ajalnya? Bukan kah itu terlalu kejam?
.
.
.



SWEET SORROW | Lee Taeyong ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang