22. Hell

284 44 38
                                    

You and I both have lonely lives
That is the life we have to live
Love easily breaks, time easily flows

There’s no such thing as an eternal promise
Even the words we whispered as we looked at each other
They scatter like the dust that covers the sky
We went awry like strangers

Bobby Kim - Stranger
.
.



Jina menyelipkan kembali buku yang tadi ia ambil dari koleksi buku milik Jaehyun. Lalu melangkah ke arah nakas, meraih figura kecil berisikan foto Jaehyun bersama mendiang ibunya. Jina tersenyum, menyadari lesung pipi Jaehyun yang tampak jelas dan manis saat kecil.

Jika ia pikir ulang, ia sendiri juga tidak pernah menyangka bisa memiliki kekasih seperti Jaehyun. Menghabiskan satu tahun hidupnya bersama Jaehyun--seseorang yang menurutnya begitu sempurna. Tak jarang banyak mata yang menatap sinis Jina dulu begitu para gadis pengagum rahasia Jaehyun merasa kalah darinya.

Tapi entah mengapa seiring dengan berjalannya waktu, perasaan itu kian menghilang. Baiklah, katakan saja jika semua ini memang ada kaitannya dengan Taeyong--lelaki yang memang sudah memiliki tempat tersendiri di hati Jina semasa kecil.

Jina tidak begitu ingat bagaimana dulu Jaehyun mulai merebut hatinya. Yang jelas saat itu, setelah sekian lama Jina lelah dengan harapannya untuk menemukan Taeyong, gadis itu memutuskan untuk menyerah. Melupakan segala kenangan bersama Taeyong--meyakinkan diri bahwa laki-laki itu telah damai di alam sana.

"Kenapa Jaehyun lama sekali?" Jina menaruh kembali foto itu ke tempat semula, kemudian duduk di pinggir ranjang Jaehyun. Netranya menatap sekeliling, seakan ini adalah yang terakhir kalinya Jina memasuki kamar tersebut.

Tentu saja, setelah Jina dan Jaehyun benar-benar putus nanti, ia tidak mungkin memasuki tempat ini lagi. Bahkan ia tak yakin akan berkunjung ke rumah Jaehyun lagi.

Jina kembali beranjak begitu ia melihat foto ibu Jaehyun dengan frame yang cukup besar menempel di pintu gudang kamar Jaehyun. Gadis itu meraba permukaan kaca frame tersebut seraya mengagumi kecantikan beliau yang menurun pada anaknya. Iya, Ibu Jaehyun secantik itu. Tidak diragukan lagi bahwa ibunya memiliki andil yang cukup banyak dalam mewariskan pahatan indah di wajah Jaehyun.

Tapi ada satu hal ganjal yang kemudian Jina sadari begitu tangannya yang meraba kaca itu menyentuh area dada kanan pada foto Ibu Jaehyun. Kaca frame itu mengeluarkan sinar merah yang berkedip.

'Access permission required.'

Jina terperangah begitu suara robot wanita dari balik frame itu berbunyi. Seketika itu rasa penasarannya seakan tak mampu ia sembunyikan lagi, dengan cepat Jina melepas frame foto itu dari pakunya dan disaat itu juga netranya mendapati sekotak tombol password yang menempel di pintu itu. Dibalik frame foto yang ia genggam terdapat cekungan persegi tempat dimana sederet tombol password itu disembunyikan.

Dahinya mengernyit heran, untuk apa memasang pintu password di gudang kamar yang kecil ini?

Tapi bukan Jina jika ia tidak penasaran, terlebih mengingat percakapannya dulu dengan Jaehyun yang mengatakan bahwa pria itu selalu menggunakan tanggal lahir Jina di password media sosialnya.

Haha, terdengar berlebihan memang, pikir Jina. Padahal gadis itu hanya tidak tahu saja bahwa Jaehyun memakai password itu untuk terus mengingat peristiwa penembakan di Jeju, sekaligus hari di mana Ibu Jaehyun meninggal.

'Access permission accepted.'

Jina melebarkan matanya kala pintu itu otomatis terbuka setelah memasukkan tanggal dan bulan lahirnya serta tiga angka favorit Jaehyun di kotak password tadi. Ia kemudian melangkah masuk, mengamati sederet layar komputer yang berjejer di sana. Pada komputer paling ujung, layar itu menyala terang menampilkan suatu ruangan di empat sisi yang tampak sangat tidak asing baginya.

SWEET SORROW | Lee Taeyong ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang