21. Kopi Terakhir

286 43 46
                                    

Sorry for 2500+++ words
Happy reading! Don't forget to give your vomments :)
Thank you so much 💕





Hari baru telah tiba ketika fajar mulai menyingsing dari ufuk timur. Bagi Jina, hal terindah selain mensyukuri rahmat Tuhan adalah menikmati keindahan sosok lelaki yang masih terlelap dihadapannya.

Jina beranjak, tersenyum selagi menyingkap tirai jendela kamar Taeyong, cahaya cerah matahari langsung menyebar di seisi ruangan. Taeyong melenguh sekilas sebagai respon dari sapaan sinar mentari yang menerpa wajahnya.

Gadis itu kembali duduk di pinggir ranjang, menghalangi sinar matahari yang menyilaukan Taeyong.

"Bangunlah, Yong," ucap Jina sembari menyisir rambut pria itu kebelakang. Tidak ada respon, Taeyong masih menutup matanya rapat-rapat.

"Yak, kau pemalas sekali rupanya, uh?" Masih tidak ada respon apapun meski Jina sudah mencubit hidung Taeyong pelan.

Menyerah, akhirnya gadis itu memiliki rencana lain. Menyiapkan sarapan sebelum Taeyong terbangun, misalnya. Namun baru saja hendak beranjak pergi, pergelangan tangan kirinya terasa ditarik kencang hingga gadis itu menubruk tepat diatas dada bidang Taeyong. Taeyong memeluknya erat-erat.

"Taeyong!" protes Jina seketika.

"Hm?"

"Singkirkan tangan jahilmu itu!"

Taeyong menggeleng pelan, "Tidak sampai rasa rindu ini terobati."

"Pergi atau aku akan menyerangmu."

"Bagaimana caranya, hm?" Taeyong menaikkan sebelah alisnya.

Sedetik kemudian Taeyong terbahak begitu jari-jari kecil Jina menggelitik sisi perutnya. Jina memang tahu kelemahan pria itu, sontak Taeyong melepaskan rengkuhannya dan bergulir ke kanan untuk menghindari serangan Jina. Mereka sama-sama terbahak.

"Ayo, bangun!" Jina menarik tangan Taeyong susah payah, namun lelaki itu tetap membatu. Hanya tangannya saja yang bergerak ke atas karena tarikan Jina. Huf, baiklah, Jina menyerah. Ia melepas tarikannya itu, mengamati sleepy face milik Taeyong.

"Aku baru sadar kau begitu bersinar ketika pagi, seperti mentari." Jina mengusap pipi kanan Taeyong lembut. Lalu pria itu tersenyum, menjauhkan tangan Jina dari pipinya dan menautkan jemari mereka.

"Mentari yang selalu ada untuk menyinari bumi setiap harinya?"

"Hm, kau seperti itu padaku."

"Bagaimana jika aku bukan mentari yang kau harapkan? Mampu kah kau bertahan?" Taeyong menegakkan tubuhnya duduk berhadapan dengan Jina.

"Bertahan apa maksudmu?" tanya Jina bingung.

"Bertahan hidup, melanjutkan hidup dengan baik tanpaku," sahut Taeyong serius.

Plak!

"Aw!" Taeyong mengusap pundaknya yang dipukul oleh Jina.

"Kenapa kau mengatakan itu, ha? Kau mau meninggalkan aku lagi?!"

"Hei, memangnya pernah aku meninggalkanmu?" kilah Taeyong.

"Ya! Dulu kau pergi begitu saja setelah penembakan di Jeju, lalu kau menjauhiku kemarin, dan sekarang apa lagi?!"

Taeyong terkekeh, tangannya mengacak surai panjang Jina. "Aku kan hanya bercanda."

"Sudah lah, aku harus pulang dan bersiap ke kampus."

"Baiklah, hati-hati," ucap Taeyong dengan senyum yang seakan tidak pernah luntur dari wajahnya.
.
.
.

Taeyong baru saja siap hendak berangkat sebelum akhirnya merasakan getaran pada ponselnya. Ia berhenti sejenak untuk mengecek pesan di dalam sana.

SWEET SORROW | Lee Taeyong ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang